SERGAP7// Sambas, 16 Mei 2025 – Di saat pemerintah daerah didorong untuk melakukan efisiensi anggaran dan memperkuat akuntabilitas publik, DPRD Kabupaten Sambas justru membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membedah Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah Tahun Anggaran 2024. Langkah tersebut menuai kritik , terutama pegiat antikorupsi dan pengamat hukum tata pemerintah negara, yang menilai pembentukan Pansus sebagai bentuk kegagalan sistemik dalam fungsi pengawasan legislatif.
Andri Mayudi, Ketua LSM GRAK (Gerakan Rakyat Anti Korupsi) Sambas, secara tegas menyebut bahwa keberadaan Pansus bukanlah solusi korektif yang ideal, melainkan tanda nyata tidak berfungsinya pengawasan sejak awal tahun.
“Pansus LKPJ bukan solusi, tapi sinyal bahwa pengawasan fungsional gagal dilakukan. Jika DPRD dan APIP menjalankan tugasnya secara terstruktur dan berkala, maka penyimpangan tak akan menumpuk hingga butuh dibongkar di ujung tahun,” tegasnya.
Menurut Andri, publik sudah terlalu sering disuguhi drama evaluasi tahunan yang tidak menyentuh akar masalah. Evaluasi formalitas semacam itu dinilainya hanya menguras anggaran, tanpa menghasilkan perbaikan konkret dalam tata kelola pemerintahan daerah.
“Jika DPRD serius, mereka harus membangun kontrol sejak tahap perencanaan hingga implementasi. Pengawasan partisipatif melibatkan masyarakat sipil jauh lebih kuat daripada reaksi politik musiman,” lanjutnya.
Perspektif Hukum Tata Negara: Pansus Bukan Jalan Sehat
Dari sudut pandang hukum tata negara, pola pengawasan yang hanya aktif di penghujung tahun mencerminkan defisit akuntabilitas demokrasi lokal. Padahal, konstitusi menempatkan DPRD sebagai pengawal anggaran dan pelaksana fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan.
Pengawasan anggaran tidak boleh berbasis insiden. Ia harus menjadi sistem terintegrasi dalam setiap tahap kebijakan. Jika DPRD hanya aktif saat LKPJ, maka mekanisme check and balance sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 tidak berjalan efektif.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan internal daerah terlalu bergantung pada tekanan publik. Ketika DPRD dan APIP gagal menjalankan fungsi pengawasan reguler, maka Pansus kerap dijadikan "jalan pintas politik" untuk merespons tekanan masyarakat.
“Ini sangat berisiko. Di satu sisi membuka ruang manuver politik, di sisi lain menunda reformasi birokrasi dan merusak tata kelola anggaran yang sehat,” tambahnya.
Mengapa Pansus Jadi Simbol Kegagalan Awal DPRD?
1. Tidak ada deteksi dini terhadap potensi penyimpangan.
2. Minimnya kontrol saat program berjalan.
3. Lemahnya sinergi DPRD dan APIP dalam pengawasan anggaran.
4. Pansus dibentuk sebagai respons krisis, bukan koreksi kelembagaan.
Rekomendasi Perbaikan Sistemik:
Perkuat koordinasi tripartit: DPRD – APIP – BPK/BPKP.
Dorong LKPJ berbasis kinerja nyata (outcome-based), bukan laporan formal.
Bangun sistem deteksi dini melalui komisi-komisi DPRD dan Inspektorat.
Hilangkan ketergantungan pada Pansus sebagai solusi tahunan.
“Pansus bukan solusi utama. Ia adalah penanda kegagalan fungsi pengawasan reguler. Untuk cegah siklus penyimpangan, sistem pengawasan harus berjalan sejak awal dan bersifat menyeluruh,” tegas Andri Mayudi.
Redaksi