Sergap7// Jakarta – Publik kembali dikejutkan oleh lambannya penanganan laporan polisi terhadap Hendry Ch. Bangun (HCB) dan Sayid Iskandarsyah, dua eks petinggi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang sebelumnya diduga terlibat dalam kasus korupsi dana hibah BUMN. Kali ini, laporan tersebut bahkan telah masuk ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dengan Nomor: LP/B/269/VIII/2024/SPKT/BARESKRIM POLRI, tertanggal 8 Agustus 2024.
Laporan yang dilayangkan oleh Helmi Burman, seorang wiraswasta asal Pekanbaru, memuat tuduhan serius terkait dugaan penipuan, penggelapan dalam jabatan, dan penggelapan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 372, 374, dan 378 KUHP. Peristiwa yang dilaporkan terjadi dalam rentang waktu Desember 2023 hingga Februari 2024, dengan terlapor utama: Hendry Ch. Bangun, Sayid Iskandarsyah, dan beberapa pihak lainnya.
Namun ironisnya, meski laporan tersebut telah diterima dan surat tanda terima laporan resmi ditandatangani oleh IPTU Helmi Burmananto, S.H., hingga pertengahan Juni 2025 tidak ada perkembangan yang signifikan. Kasus ini seolah dibekukan secara tak kasat mata. Situs pemantauan SP2HP Bareskrim pun tidak menampilkan kejelasan tindak lanjutnya.
“Kenapa kasus ini seolah digantung? Apa karena mereka tokoh publik atau karena menyentuh elite tertentu?” ujar seorang aktivis antikorupsi yang mengikuti kasus ini sejak awal.
Fakta ini menambah panjang daftar laporan hukum yang mandek di institusi penegak hukum, terutama jika menyangkut tokoh berpengaruh atau organisasi besar seperti PWI. Sebelumnya, Sayid Iskandarsyah juga kalah dalam gugatan perdata terhadap Dewan Kehormatan PWI di PN Jakarta Pusat, yang sekaligus mengukuhkan bahwa pemecatannya sah secara hukum.
Namun, meski persoalan etik dan perdata telah diketok palu, aspek pidananya justru jalan di tempat.
Laporan yang diajukan Helmi Burman bukan laporan sembarangan. Ia memuat detail peristiwa, kerugian, serta nama-nama yang disebut memiliki tanggung jawab langsung. Bahkan, sang pelapor disebut turut mengantongi bukti-bukti awal yang cukup kuat, termasuk dokumen aliran dana.
Yang jadi pertanyaan: mengapa Bareskrim belum juga menindaklanjuti laporan ini secara terbuka dan profesional? Apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
Fenomena ini mempertegas bahwa krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum bukan isapan jempol belaka. “Kita butuh kepolisian yang independen, bukan institusi yang hanya bergerak kalau ditekan opini publik atau instruksi atasan,” tegas aktivis tersebut.
Jika tidak ada langkah nyata, bukan tak mungkin publik akan menganggap institusi hukum ikut bermain mata dengan para pelaku. Ini tentu membahayakan kepercayaan rakyat terhadap supremasi hukum dan integritas negara.
Publik kini menunggu gebrakan nyata dari Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Jangan sampai kasus ini hanya menjadi deretan kertas tak bermakna di laci-laci kantor penyidik. Hukum harus berjalan, bukan berjalan di tempat.
Dan jika benar laporan ini ditahan atau didiamkan karena tekanan dari pihak tertentu, maka kita sedang menyaksikan bencana moral terbesar dalam sistem penegakan hukum Indonesia.
Terkait mandeknya penanganan Laporan Polisi terhadap Hendry Ch. Bangun (HCB) dan Sayid Iskandarsyah di Bareskrim Polri, jika ditelaah dari aspek hukum, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang berpotensi dilanggar, baik oleh terlapor (jika terbukti) maupun oleh aparat penegak hukum (jika terjadi pembiaran). Berikut daftarnya:
1. Pasal Pidana yang Diduga Dilanggar oleh Terlapor (HCB, Sayid Iskandarsyah, dkk):
Pasal 372 KUHP – Penggelapan
Barang siapa dengan sengaja memiliki barang yang bukan miliknya secara melawan hukum, padahal barang itu berada padanya bukan karena kejahatan, diancam pidana penjara paling lama 4 tahun.
Pasal 374 KUHP – Penggelapan dalam Jabatan
Jika penggelapan dilakukan oleh seseorang yang penguasaan terhadap barang tersebut karena jabatannya atau pekerjaannya, diancam pidana penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 378 KUHP – Penipuan
Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menggunakan tipu muslihat, nama palsu, atau kedudukan palsu, dipidana penjara paling lama 4 tahun.
2. Peraturan yang Diduga Dilanggar oleh Aparat Penegak Hukum jika Terbukti Tidak Menindaklanjuti:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 13 huruf a dan b:
Tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum.
Pasal 14 ayat (1) huruf g:
Polri berkewajiban menerima laporan atau pengaduan masyarakat, dan menindaklanjutinya sesuai hukum.
Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana
Pasal 2 dan 3:
Penyidik wajib memproses setiap laporan/pengaduan secara profesional, proporsional, dan akuntabel.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN
Jika laporan masyarakat terkait korupsi diabaikan, maka bisa dianggap sebagai bentuk pembiaran atas dugaan praktik KKN yang bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan akuntabel.
3. Pelanggaran terhadap Asas Pelayanan Publik:
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pasal 21 dan Pasal 53:
Pelayanan publik, termasuk proses hukum oleh Kepolisian, harus transparan, cepat, dan tidak diskriminatif. Bila laporan masyarakat tidak direspons dalam waktu wajar, maka penyelenggara pelayanan (dalam hal ini Polri) dianggap melanggar kewajiban pelayanan publik.
Jika terlapor adalah pejabat organisasi publik (seperti PWI yang menerima dana hibah negara), maka kasus ini bisa dikualifikasikan sebagai dugaan korupsi dana hibah dan dapat juga dikenakan:
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 3 dan 8:
Penyalahgunaan wewenang dan penggelapan oleh penyelenggara negara atau penerima bantuan negara bisa dijerat pidana korupsi, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. (TIM/Red)