ads top menu

 


Pencemaran Ekologis, Krisis Antroposen, Dan Siapa Sesungguhnya Sawit Itu?

By_Admin
Selasa, Juli 29, 2025
Last Updated 2025-07-29T00:01:04Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Sergap7// Sambas, selasa 29 juli 2025 Kalimantan Barat pernah dijuluki sebagai paru-paru dunia, bagian dari sistem hutan hujan tropis global yang menyerap karbon dan menjaga keseimbangan iklim bumi. Hari ini, klaim itu tinggal kenangan. Udara diselinuti kabut asap, sungai tercemar limbah air berwarna kabut, dan danau mengering. Dari pedalaman Sambas hingga pesisir Singkawang, warga hidup dalam ancaman krisis ekologis yang tak lagi bisa disangkal.


> “Paru-paru masyarakat Kalbar bukan hanya soal kesehatan, tapi juga soal ruang hidup yang perlahan dicekik oleh rakusnya ekspansi industri.”


DARI SAWIT KE ASAP: SIAPA YANG MEMBINASAKAN PARU-PARU DUNIA?

Indonesia, sebagai salah satu produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar dunia, terus mendorong ekspansi sawit atas nama pertumbuhan ekonomi. Tapi di balik setiap liter ekspor, tersimpan jejak-jejak asap tak kasat mata. Sawit bukan sekadar komoditas—ia telah menjadi simbol konflik antara devisa dan hak hidup rakyat.


Setiap musim kemarau, lahan gambut terbakar. Setiap musim hujan, banjir bandang datang. Di antara dua bencana itu, manusia kehilangan hak dasarnya: menghirup udara bersih dan mendapat air yang layak.


DAMPAK KESEHATAN: DARI BALITA HINGGA LANSIA TERKENA ISPA


Kabut asap pekat akibat kebakaran lahan dan hutan menyebabkan lonjakan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).


Balita batuk demam

Lansia alami sesak napas kronis,

Ibu hamil terancam hipoksia (kekurangan oksigen),

Sekolah ditutup,

Aktivitas masyarakat lumpuh.

Data dari Puskesmas di wilayah terdampak menunjukkan peningkatan tajam kunjungan pasien selama musim asap. Sementara itu, fasilitas kesehatan tidak memiliki kapasitas darurat, dan pemerintah daerah kekurangan peralatan pemadaman serta sarana mitigasi.


FAKTA KRISIS EKOLOGI DI SAMBAS

Sungai Sambas Besar berubah menjadi kanal limbah industri.


Danau Sebedang, sumber air baku, mengering dan kehilangan fungsinya.


Ratusan hektare hutan dan gambut terbakar, mengubah langit menjadi kelabu.


Manusia menderita, bukan karena alam, tapi karena salah kelola ruang dan kekuasaan.


Per 27 Juli 2025, berdasarkan data resmi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sambas, situasi kebakaran hutan dan lahan telah mencapai level darurat ekologis dan kemanusiaan:

 399 hektare lahan terbakar

 40 titik api terdeteksi

5 kecamatan terdampak langsung: Paloh, Jawai, Teluk Keramat, Selakau Timur, Tangaran

 11 desa terdampak langsung, termasuk Temajuk, Trimandayan, Sungai Nilam, dan Buduk Sempadang


 Kondisi: BELUM PADAM


“Musim hujan menjadi bencana banjir.

Musim kemarau menjadi siklus api.

Ini bukan fenomena alam — ini alarm antroposen.”


APA PENYEBABNYA? BUKAN SEKADAR KEMARAU

Bencana ini bukan disebabkan oleh alam liar, tetapi oleh tata ruang yang diubah secara liar oleh manusia:


Perubahan hutan menjadi kebun sawit tanpa kontrol.


Konsesi diberikan secara masif, bahkan di kawasan lindung dan gambut.


Pembabatan verigasi bakau/magrove pesisir pantai


Negara diam, membiarkan semua terjadi atas nama investasi dan target devisa.


DEVISA VS OKSIGEN: SIAPA YANG MENANG, SIAPA YANG TERSENGAL?

Sawit memang menghasilkan pendapatan. Tapi:

Apakah uang bisa menggantikan udara bersih?

Apakah CPO bisa menggantikan mata air yang hilang?

Apakah statistik PDB bisa menggantikan hak hidup rakyat?


Konstitusi Indonesia melalui Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat. Tapi:

Peringatan dini tidak berjalan.

Mitigasi kebakaran minim sarana.

Korban asap tak mendapat perlindungan.

Negara, sebagai subjek hukum, justru menjadi pelanggar prinsip ekologi, etika, dan keberlanjutan.


 “Ketika negara tak lagi membedakan antara hutan dan uang, maka negara itu telah kehilangan moral ekologisnya.”


Kita tengah hidup dalam era Antroposen — zaman di mana manusia menjadi kekuatan dominan dalam perubahan iklim dan ekosistem. Namun, alih-alih sadar dan bertanggung jawab, kita justru menggali lubang kepunahan:


“Lingkungan bukan objek, melainkan subjek yang menghidupi kita


Jika ia dihancurkan, maka kita menghancurkan fondasi eksistensi kita sendiri.”


 “Api bisa padam. Tapi luka ekologis tak akan sembuh dalam satu musim.


Dan negara yang tak belajar dari asap, akan terbakar lagi — oleh kemarahan rakyat, dan kehancuran dirinya sendiri.”


 SIAPA YANG SEBENARNYA SAWIT?

Sawit bukan sekadar tumbuhan. Ia adalah simbol: S

imbol kerakusan,

Simbol kompromi moral,

Simbol persekongkolan antara ekonomi dan kekuasaan.


MENDESAK

. Moratorium Perluasan Sawit di seluruh Kalimantan Barat

.

. Audit Total kebun sawit eksisting, khususnya di kawasan gambut dan rawan karhutla.


. Transparansi Konsesi: Ungkap pemilik, korporasi, dan jaringan politik di balik lahan terbakar.


. Restorasi Ekologis: Pulihkan kembali fungsi hutan primer, bukan sekadar replanting sawit.


. Revisi RTRW: Tata ruang yang menempatkan keselamatan jiwa dan lingkungan di atas kepentingan mono-industri.


Namun, sawit bisa dikendalikan — jika kita memilih menyelamatkan bumi daripada menumpuk devisa.


“Negeri ini disebut bumi khatulistiwa yang tak kunjung binasa. Tapi jika Antroposen terus dijalankan sebagai mesin perusak, maka yang membinasakan bukan bencana — tapi kita sendiri.”


Andri

Aktivis Lingkungan

SERGAP Dirgantara7

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

ads bottom hb.segerah