KALIMANTAN BARAT, INDONESIA, 8 Desember 2025 – Air pasang laut memasuki hari ketiga melanda sejumlah wilayah pesisir di Provinsi Kalimantan Barat. Genangan dilaporkan terjadi di Pontianak, Jungkat, Sungai Pinyuh, Mempawah, Sungai Duri, Singkawang, Pemangkat, Paloh, Jawai, serta beberapa kecamatan lain di Kabupaten Sambas.
Genangan umumnya muncul pada malam hingga dini hari dan surut dalam waktu 3–6 jam. Aktivitas warga tetap berlangsung meski sisa lumpur, sampah, dan jalan licin terlihat di sejumlah permukiman dan ruas jalan. Pengendara diimbau tetap waspada, terutama di kawasan rendah dekat muara sungai dan pantai, karena genangan di bahu jalan berpotensi menimbulkan kecelakaan.
Di pesisir Pontianak–Mempawah, air pasang menggenangi bahu jalan dan halaman rumah warga. Kondisi serupa terjadi di Singkawang, Pemangkat, Paloh, dan Jawai, di mana air laut masuk ke jalan lingkungan, pekarangan, dan sebagian lahan warga. Sejumlah nelayan memilih menunda melaut ketika pasang disertai angin kencang untuk menjaga keselamatan.
Fenomena ini merupakan siklus tahunan pasang tinggi yang dipengaruhi fase pasang purnama, angin musim, serta karakter pesisir Kalimantan Barat yang didominasi dataran rendah. Pemerintah daerah mengimbau warga mengamankan barang penting, berhati-hati di jalan tergenang, serta melaporkan jika ada kerusakan fasilitas umum.
Meski belum menimbulkan kerusakan besar pada infrastruktur utama, rangkaian pasang ini kembali menegaskan urgensi normalisasi drainase, pembersihan parit, dan penguatan perlindungan kawasan pesisir sebagai bagian dari mitigasi jangka panjang.
---
Rangkaian pasang dan genangan ini berlangsung seiring tren global meningkatnya cuaca ekstrem. Hujan sangat lebat dalam waktu singkat, banjir rob berulang, abrasi pantai, angin kencang, serta suhu panas ekstrem kini semakin sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Kalimantan Barat.
Aktivis lingkungan Kalimantan Barat, Andri Mayudi, menegaskan bahwa fenomena ini bukan lagi anomali musiman.
“Ini bukan lagi cuaca buruk biasa. Sistem iklim sudah berubah. Kita tidak lagi menuju krisis iklim, kita sudah hidup di tengah-tengahnya,” ujar Andri, mantan Ketua LSM Wahana Pelestarian Alam Nusantara (WAPATARA).
Ia menjelaskan bahwa pemanasan atmosfer dan lautan akibat akumulasi gas rumah kaca membuat udara menyimpan lebih banyak uap air. Ketika hujan turun, intensitasnya meningkat dan memicu banjir cepat, genangan luas, serta risiko longsor. Lautan yang lebih hangat juga memperkuat badai dan gangguan cuaca di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Perubahan pola sirkulasi cuaca menyebabkan distribusi hujan menjadi tidak stabil. Sebagian wilayah mengalami hujan ekstrem berulang, sementara wilayah lain menghadapi periode kering berkepanjangan. Masyarakat merasakan kondisi ini sebagai “cuaca yang semakin tidak menentu.”
---
Kalimantan Barat memiliki garis pantai panjang, wilayah laut luas, serta ratusan pulau kecil berpenghuni. Di banyak kawasan pesisir, warga kini akrab dengan banjir rob, intrusi air laut, dan abrasi yang menggerus permukiman serta lahan produktif. Berkurangnya hutan mangrove dan vegetasi pantai semakin memperbesar kerentanan tersebut.
“Banjir rob yang berulang, abrasi, dan intrusi air laut adalah bukti bahwa pesisir berada di garis depan dampak krisis iklim,” kata Andri.
Ia menekankan bahwa peningkatan cuaca ekstrem tidak bisa lagi dianggap sebagai kejadian alam biasa. Situasi ini merupakan konsekuensi dari pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan, tata ruang yang tidak disiplin, dan lemahnya pengawasan terhadap ekosistem kunci seperti hutan, daerah aliran sungai, dan pesisir.
Andri mendorong agar krisis iklim dijadikan pijakan teknis dan strategis dalam perencanaan pembangunan. Pemulihan hutan, perlindungan mangrove, penguatan kawasan resapan air, serta program adaptasi di wilayah pesisir dan pulau kecil menjadi kebutuhan mendesak untuk mengurangi risiko jangka panjang.
“Setiap banjir rob dan hujan ekstrem adalah peringatan keras,” tegasnya. “Jika krisis iklim tidak dijadikan dasar kebijakan, generasi berikutnya yang akan menanggung dampaknya.”
SERGAP Dirgantara7


















