Sergap7// Sambas, 19 Juli 2025 Empat lembaga masyarakat sipil—GRAK Sambas, LAKSRI Kalbar, BAKTI NUSA, dan SBMI Sambas—secara resmi menyatakan akan mengajukan laporan tertulis terhadap Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Barat. Laporan ini ditujukan kepada Gubernur Kalimantan Barat, BPK RI, BPKP, Ombudsman RI, dan PTUN Pontianak, atas dugaan kelalaian dan pembiaran terhadap pencemaran Sungai Sambas Besar yang telah berlangsung sejak 16 Juni 2025.
Pernyataan Konsorsium LSM
Koordinator konsorsium menegaskan bahwa kondisi Sungai Sambas Besar, yang kini dijuluki “Sungai Kapucino” karena warna air cokelat pekat dan beraroma logam berat, bukan sekadar krisis ekologi biasa, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanah publik dan pelanggaran terang-terangan terhadap Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 2011 serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hingga saat ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, melalui dinas teknis, belum melaksanakan kewajibannya untuk:
melakukan normalisasi alur sungai,
informasi hasil lab sampel mutu air, dan oservasi
menegakkan sanksi administratif maupun pidana terhadap sumber pencemar.
Masalah Utama: Pencemaran dan Pembiaran
Air Sungai Sambas Besar saat ini menunjukkan rona kuning-cokelat pekat dengan sedimentasi tinggi, menandakan kelebihan logam berat dan partikel tersuspensi (TSS) yang membahayakan. Dua sumber pencemar utama yang teridentifikasi secara kasat mata maupun berdasarkan pengaduan warga antara lain:
1. Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah hulu sungai.
2. Pembuangan limbah cair oleh pabrik pengolahan sawit di wilayah hilir.
Selain itu, terdapat dugaan bahwa ribuan hektare lahan sawit, yang telah atau sedang dalam status sita atau sengketa hukum, tetap beroperasi secara ilegal dan menyumbang kerusakan lingkungan melalui:
pembukaan lahan tanpa dokumen AMDAL,
perusakan tutupan hutan dan sempadan sungai, serta
pembuangan limbah cair langsung ke badan air tanpa pengolahan.
Penyebab Penipisan Hutan
Kerusakan vegetasi dan penipisan tutupan hutan di wilayah hulu memperparah degradasi Sungai Sambas Besar. Hal ini terjadi akibat:
Ekspansi perkebunan sawit skala besar secara masif dan tanpa pengawasan ketat,
Konversi kawasan lindung dan sempadan sungai menjadi lahan produksi,
Pembiaran perambahan liar dan pembakaran hutan, serta
Tidak adanya tindakan hukum terhadap pelaku-pelaku korporasi yang menguasai ribuan hektare tanah tanpa kepastian legalitas.
Analisis Hukum Lingkungan: Pelanggaran Sistemik
Berdasarkan Pasal 48 dan Pasal 69 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, pejabat publik memiliki kewajiban hukum untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan lingkungan. Kelalaian ini juga melanggar:
Pasal 5 dan 7 Perda Provinsi Kalbar No. 6 Tahun 2011
Pasal 98 dan 99 UU No. 32/2009 terkait sanksi pidana dan administratif,
serta PP No. 82 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Air.
Dinas PUPR tidak menjalankan kewajiban normalisasi dan pengerukan sedimen, sementara DLH Provinsi lalai melakukan monitoring kualitas air serta tidak menjatuhkan sanksi terhadap pencemar.
Tanpa sampling berkala, verifikasi limbah, dan penegakan hukum, maka negara dianggap melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Dampak Sosial dan Kesehatan
Kerusakan Sungai Sambas Besar telah berdampak langsung pada kehidupan masyarakat:
Zona riparian kehilangan keanekaragaman hayati,
Nelayan lokal kehilangan penghasilan karena penurunan drastis populasi ikan,
Warga pesisir terpaksa membeli air bersih untuk kebutuhan harian,
Fasilitas kesehatan di desa-desa mencatat peningkatan kasus keracunan merkuri, diare, dan penyakit kulit seperti dermatitis.
Tuntutan dan Langkah Hukum
Konsorsium menuntut langkah-langkah konkret berikut:
1. Audit kinerja dan keuangan oleh BPK RI dan BPKP terhadap program pemulihan sungai dan pemanfaatan Pajak Permukaan Air.
2. Audit lingkungan hulu-hilir oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
3. Pemeriksaan maladministrasi oleh Ombudsman RI terhadap Dinas PUPR dan DLH Provinsi Kalbar.
4. Gugatan ke PTUN Pontianak, apabila dalam 7 (tujuh) hari kerja tidak ada tanggapan atau tindakan nyata dari pemerintah provinsi.
Kesimpulan: Pencemaran Sungai Sambas Besar Bukan Sekadar Kelalaian, Melainkan Kegagalan Sistemik
Apa yang terjadi di Sungai Sambas Besar bukan hanya persoalan pencemaran air—ini adalah akumulasi dari pembiaran struktural, lemahnya pengawasan, dan minimnya akuntabilitas birokrasi lingkungan hidup di tingkat provinsi. Ketika dua dinas teknis—PUPR dan DLH—gagal menjalankan fungsi dasarnya yang diatur secara tegas dalam Perda Provinsi Kalbar No. 6 Tahun 2011 dan UU No. 32 Tahun 2009, maka kegagalan tersebut bukan lagi administratif semata, melainkan telah menjadi indikasi maladministrasi dan kelalaian yang berdampak luas terhadap hak hidup masyarakat.
Kerusakan ekologis yang kini tampak—dari warna air yang tak layak, sedimentasi berat, hilangnya populasi ikan, hingga meningkatnya kasus penyakit akibat logam berat—adalah gejala dari rusaknya manajemen tata ruang, lemahnya penindakan terhadap tambang ilegal, serta absennya pengendalian terhadap limbah industri perkebunan sawit. Fakta bahwa ribuan hektare lahan sawit berstatus sengketa tetap beroperasi dan membuang limbah tanpa sanksi, menguatkan bahwa negara secara aktif atau pasif turut membiarkan pencemaran ini berlangsung.
Dalam kerangka hukum lingkungan, ini bukan lagi persoalan teknis, tetapi telah menjadi permasalahan konstitusional dan hak asasi. Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sementara negara, melalui perangkat daerahnya, memiliki tanggung jawab mutlak untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan pencemaran.
Dengan demikian, ketidakaktifan aparatur dalam menjalankan mandatnya dapat dikualifikasikan sebagai:
SERGAP Dirgantara7