Sergap7// Pontianak sabtu 2 agustus 2025 di balik gelombang perubahan zaman, di tengah gegap gempita pembangunan dan ledakan digital, ada satu kitab yang menyimpan napas panjang peradaban bangsa ini—namun justru terlupakan di negeri asalnya sendiri.
Kitab itu bernama La Galigo.
Ia bukan sekadar buku tua. Ia adalah kitab suci kebudayaan, ditulis oleh waktu, dituturkan oleh jiwa leluhur, dan ditenun dari hikmah yang mendalam.La Galigo adalah kitab suci kebudayaan Nusantara—dengan lebih dari 300.000 baris syair, ia menjadi epik terpanjang di dunia, mengungguli Mahabharata, Shahnameh, hingga Iliad & Odyssey.
Lebih dari sekadar panjang, La Galigo adalah peta intelektual dan spiritual bangsa Bugis, mencatat kosmologi, etika, struktur sosial, hingga ajaran kepemimpinan berbasis harmoni antara manusia, alam, dan langit.
Kitab ini lahir dari warisan lisan abad ke-8, ditulis dalam aksara Lontara pada abad ke-13–15, dan menjadi bukti tingginya peradaban maritim Nusantara.
Kita memiliki kitab terpanjang dalam sejarah manusia, tapi bangsa kita sendiri belum selesai membacanya—apalagi merawatnya.
Pada tahun 2011, UNESCO menetapkannya sebagai “Memory of the World”. Dunia mengangkatnya, mengakuinya sebagai warisan intelektual umat manusia. Tapi kita, bangsa pemiliknya—masih ragu untuk sekadar mengenalnya.
- Kitab dari Laut, Langit, dan Leluhur
La Galigo bukan dongeng pengantar tidur. Ia adalah sistem pengetahuan, ajaran nilai, dan cermin sosial kosmologis masyarakat Bugis sejak abad ke-8. Ditulis dalam aksara Lontara oleh para To-Sureq, penutur sakral, lalu disusun ulang oleh pujangga istana hingga abad ke-19.
Dalam kisahnya, hidup Sawerigading, sosok pejuang, pencinta, dan pelintas samudra—bukan hanya secara fisik, tapi juga spiritual. Ia menjelajah takdir, melintasi larangan, dan menjadi simbol manusia Nusantara yang agung: berani, berakar, dan bertanya pada semesta.
Bangsa yang Tak Lagi Menyapa Warisannya
Hari ini, anak-anak kita mengenal Thor, Hercules, dan Zeus—tetapi tidak tahu siapa Sawerigading.
Mereka bisa menyebut nama-nama mitologi Eropa, tetapi asing terhadap kitab agung yang lahir dari tanahnya sendiri.
La Galigo belum masuk kurikulum nasional.
Ia bukan prioritas dalam kebijakan kebudayaan. Ia tak muncul dalam percakapan publik.
Dan ironisnya, kitab ini lebih banyak disimpan di perpustakaan Belanda, daripada di ruang-ruang belajar Indonesia.Apakah kita sedang tumbuh sebagai bangsa yang kehilangan akarnya?
La Galigo adalah Pilar Filsafat Nusantara
“Bangsa yang kehilangan kitab sucinya, kehilangan dirinya.”
Dan bangsa yang melupakannya—sedang meniru peradaban lain, tanpa pernah mengerti wajahnya sendiri.
La Galigo bukan sekadar kisah. Ia adalah peta nilai, etika kolektif, struktur kepemimpinan adat, bahkan filsafat tentang relasi manusia dengan alam dan langit. Di dalamnya, laut bukan sekadar ruang ekonomi, tapi ruang spiritual. Cinta bukan sekadar romansa, tapi ujian takdir.
Seruan untuk Membaca Kembali Jati Diri
Masukkan La Galigo dalam kurikulum pendidikan budaya dan sejarah nasional. Terjemahkan dan digitalisasikan kembali naskahnya untuk generasi muda.
Hidupkan ruang-ruang baca publik yang mengenalkan kembali karya-karya warisan lokal.Angkat Sawerigading sebagai ikon literasi dan filsafat kebudayaan Nusantara di panggung nasional.
Karena warisan yang tidak dibaca, akan dilupakan.Dan bangsa yang melupakan warisannya, akan menjadi asing di negerinya sendiri.
La Galigo tidak meminta disembah.
Ia hanya ingin diingat. Dihormati. Dihidupkan.
Ia bukan hanya tentang masa lalu,tetapi arah pulang bagi bangsa yang tersesat dalam hiruk-pikuk zaman.Karena kekuatan suatu bangsa tak hanya diukur dari teknologi dan ekonomi,tetapi dari seberapa teguh ia menjaga napas leluhurnya.
Salam kebudayaan, salam literasi.
Liputan Andri – SERGAP Dirgantara7