SERGAP DIRGANTARA7// Pemangkat, Kabupaten Sambas – Selasa, 5 Agustus 2025
HUT Ke-80 Republik Indonesia "Yang hilang dari bangsa bukan sejarahnya, tapi keberanian untuk menatap sejarah itu sebagai cermin."
Agustus kembali menyapa, dan di seluruh penjuru negeri, Sang Saka Merah Putih berkibar—dari halaman sekolah hingga kantor pemerintahan. Namun di balik kemeriahan upacara dan parade budaya, muncul satu pertanyaan sunyi yang mendesak dijawab:
Apa arti kemerdekaan bagi generasi muda hari ini?
Simbol Diabaikan, Sejarah Dilupakan
Di ruang-ruang kelas dan layar media sosial, kita menyaksikan kontradiksi. Bendera animasi bajak laut dikibarkan dengan bangga, sementara Merah Putih hanya menjadi formalitas tanpa makna.
Ini bukan sekadar tren. Ini adalah gejala retaknya hubungan antara generasi muda dengan sejarah dan identitas bangsanya.
Generasi digital kita cerdas, global, dan kreatif. Tapi dalam budaya instan yang serba viral, nilai kalah oleh sensasi, dan sejarah dianggap beban masa lalu—bukan bekal masa depan.
Bukti Visual yang Berbisik: Arsip Pemangkat 1940–1954
Redaksi Sergap Dirgantara7 baru-baru ini menerima lima foto langka dari Pemangkat, Kabupaten Sambas—rekaman sejarah hidup dari masa peralihan kolonial menuju republik muda. Kelima foto ini menjadi penanda penting bahwa identitas bangsa tidak dibentuk oleh algoritma, tapi oleh perjuangan kolektif:
1. Pria berjas putih: Simbol kaum terpelajar, mungkin guru atau tokoh masyarakat lokal yang menjadi pionir perubahan.
2. Orkes Pantai Harapan (1954): Musik menjadi sarana ekspresi budaya dan ketahanan psikologis pasca-proklamasi.
3. Sandiwara Pori: Teater rakyat sebagai ruang pendidikan dan narasi perlawanan dari rakyat untuk rakyat.
4. IPPO (1946): Pemuda Islam memperingati Maulid Nabi, memadukan keimanan dengan semangat nasionalisme.
5. CADJAHM (1949): Organisasi pemuda semi-militer yang tumbuh dalam pusaran revolusi mempertahankan kemerdekaan.
Kelima foto ini adalah arsip memori kolektif, bukan artefak. Mereka berbisik dalam diam—mengingatkan kita bahwa kemerdekaan tak pernah gratis dan tak boleh dilupakan.
Mengapa Sejarah Harus Dimaknai Ulang?
Filsafat sejarah mengajarkan bahwa bangsa tanpa refleksi akan mengulang kesalahan yang sama.
Sosiologi budaya menyatakan bahwa simbol yang dilupakan mencerminkan identitas yang retak.
Psikologi kolektif mengingatkan bahwa memori sosial adalah fondasi harga diri bangsa.
Antara Simbol Fiktif dan Realitas Kemerdekaan
Bendera bajak laut mungkin memicu gelak tawa. Tapi jika tawa itu menggantikan hormat pada Merah Putih, maka kita sedang melintasi batas tipis antara kebebasan dan pengabaian.
Kemerdekaan tanpa penghormatan terhadap sejarah bukanlah kemajuan, tapi dekadensi.
Inovasi tanpa fondasi adalah kemewahan rapuh yang menunggu waktu untuk runtuh.
Foto-Foto Tua Itu Menyala
Dari panggung sandiwara ke ruang kelas, dari orkes rakyat ke barisan pemuda berseragam—semuanya menyampaikan satu pesan:
"Kami berjuang agar kalian bisa berpikir bebas. Maka berpikirlah—bukan sekadar mengulang."
Ketika generasi muda lebih bangga mengibarkan bendera animasi daripada Sang Saka Merah Putih, itu bukan sekadar hiburan.
Itu peringatan keras bahwa kita tengah kehilangan jati diri nasional.
Jadikan Merdeka Sebagai Sikap, Bukan Sekadar Seremoni
Di usia ke-80 Republik ini, mari kibarkan Merah Putih bukan hanya di tiang bambu atau layar HP,
tapi dalam kesadaran nasional kolektif sebagai bangsa yang tahu siapa dirinya dan ke mana ia harus melangkah.
Karena kita bukan hanya pewaris negeri ini—
Kita adalah penafsir sejarahnya.
Ditulis oleh: Andri
📰 Redaksi Sejarah & Budaya, SERGAP DIRGANTARA7