Sergap7// Sambas, Kalimantan Barat – 23 Juli 2025 -Danau Sebedang, ikon ekowisata sekaligus sumber utama air bersih bagi puluhan ribu warga di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, kini berada di ambang krisis ekologis. Musim kemarau tahun ini mencatat penyusutan volume air yang drastis, melebihi 70 persen dari kapasitas normal. Dasar danau yang retak dan sempadan berubah fungsi menunjukkan bahwa ancaman ini lebih dari sekadar fenomena cuaca musiman.
Kemarau Ekstrem atau Kelalaian Tata Kelola?
Meski kemarau ekstrem menjadi faktor pendorong, para pemerhati lingkungan menilai bahwa krisis Danau Sebedang merupakan hasil dari kegagalan perencanaan ruang dan lemahnya pengawasan lingkungan. Investigasi yang dilakukan oleh DPC LSM GRAK (Gerakan Rakyat Anti Korupsi) mengungkap bahwa kawasan sempadan danau berubah fungsi, ,untuk keramba ikan, kanal buatan, hingga aktivitas perkebunan dan eksplorasi tambang yang diduga berlangsung tanpa izin lingkungan yang memadai.
> “Ini bukan semata kemarau, tapi bencana ekologis yang disebabkan oleh kegagalan tata kelola dan pelanggaran hukum ruang,” ujar juru bicara DPC LSM GRAK Kalbar.
Vegetasi penyangga danau yang berfungsi sebagai kawasan resapan telah lenyap. Kapasitas danau untuk menampung air hujan juga menurun drastis, membuat danau semakin rentan terhadap fluktuasi iklim.
Padahal, secara hukum, Danau Sebedang telah ditetapkan sebagai kawasan yang wajib dilindungi. Beberapa regulasi yang mengatur perlindungan danau ini antara lain:
Perda Kabupaten Sambas No. 17 Tahun 2015 tentang RTRW
→ Kawasan Perlindungan Setempat & Kawasan Pariwisata Alam.
Perda Kabupaten Sambas No. 5 Tahun 2016 tentang RIPPARKAB
→ Destinasi Wisata Strategis Berbasis Konservasi.
Perda Provinsi Kalbar No. 3 Tahun 2012
→ Zona Lindung Ekoregion dan Sumber Daya Air Strategis.
PP No. 37 Tahun 2012
→ Mengatur sempadan danau minimal 50 meter wajib bebas dari aktivitas manusia.
Namun, sebuah ironi muncul dalam Pasal 5 ayat (2) huruf f Perda RTRW No. 17 Tahun 2015, yang justru memasukkan Danau Sebedang sebagai zona eksplorasi tambang logam dan radioaktif.
> “Di atas kertas disebut dilindungi, tetapi di peta tambang justru dikapling. Ini pengkhianatan terhadap hukum tata ruang,” tegas perwakilan DPC LSM GRAK.
Dalam konteks hukum lingkungan, negara memiliki kewajiban aktif (positive obligation) untuk:
Melindungi kawasan lindung dari konversi liar (UU No. 26/2007),
Mencegah degradasi dan pencemaran lingkungan (UU No. 32/2009),
Menjamin hak atas air bersih sebagai hak dasar warga negara (UU No. 17/2019 dan Pasal 28H UUD 1945).
Ketika negara membiarkan kawasan lindung mengalami degradasi tanpa intervensi, maka negara bukan hanya abai, tetapi juga telah melanggar mandat konstitusionalnya.
Ribuan warga kini terancam kehilangan akses terhadap air bersih, irigasi pertanian, serta sumber penghidupan dari pariwisata alam yang selama ini bergantung pada keberlangsungan Danau Sebedang.
Melihat kedaruratan ekologis yang terjadi, DPC LSM GRAK mendesak dilakukan audit tata ruang dan lingkungan secara menyeluruh dan independen, yang melibatkan:
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
Inspektorat Daerah,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Tiga pertanyaan mendasar yang perlu segera dijawab oleh otoritas:
1. Siapa yang bertanggung jawab atas konflik zonasi dan inkonsistensi peraturan?
2. Mengapa kawasan lindung dapat dialihfungsikan tanpa melalui Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)?
3. Mengapa tidak ada tindakan pemulihan dan penegakan hukum sejak krisis air baku terjadi?
DPC LSM GRAK juga menggagas pembentukan Konsorsium Masyarakat Sipil, yang terdiri atas elemen LSM, organisasi sosial, dan masyarakat adat, untuk mengawal agenda penyelamatan danau melalui jalur legislatif.
Mengajukan hearing terbuka ke DPRD Kabupaten Sambas, melibatkan lintas komisi:
Komisi A (Hukum dan Pemerintahan),Komisi C (Infrastruktur dan Lingkungan),
Komisi D (Pariwisata dan Perikanan).
Mendorong pembentukan Panitia Khusus (Pansus) RTRW dan Pengawasan Lingkungan, serta:
Audit seluruh perizinan ruang di kawasan Danau Sebedang,
Moratorium aktivitas pertambangan dan perkebunan
Penegakan hukum dan sanksi administratif terhadap pelanggaran kawasan lindung,
Program pemulihan ekologis berbasis konservasi dan partisipasi masyarakat,
Revisi dokumen RTRW secara transparan dan akuntabel,
Pemanggilan pejabat teknis untuk memberikan pertanggungjawaban publik.
Danau Sebedang adalah kawasan lindung yang sah secara hukum, namun dibiarkan rusak secara nyata. Pemerintah daerah dan lembaga legislatif diduga gagal menjalankan kewajiban konstitusional untuk menjaga ruang hidup masyarakat dan melindungi hak dasar atas air bersih.
Danau Sebedang mengalami penurunan debit air yang serius akibat faktor alam dan kerusakan lingkungan, sehingga tidak lagi andal sebagai sumber air baku. Dibutuhkan langkah strategis untuk memindahkan sumber air ke lokasi alternatif yang lebih layak secara kuantitas dan kualitas.
Proyek-proyek pengamanan abrasi yang dikelola Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan I pun dinilai gagal secara teknis dan administratif, bahkan mencederai prinsip keadilan sosial dan perlindungan lingkungan.
> “Jika kawasan lindung bisa dikapling dan dilanggar tanpa sanksi, maka hukum telah kehilangan wibawanya—dan rakyat kehilangan masa depan,” ujar Ketua Umum DPC LSM GRAK Kalbar.
Liputan/ Andri