Sergap7// Pontianak, 28 Agustus 2025 — Kalimantan Barat kini berada di titik kritis. Provinsi yang selama ini dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia kian tercekik oleh aktivitas tambang ilegal, kebakaran hutan, dan tata kelola yang rapuh. Krisis ini bukan hanya soal lingkungan, melainkan ancaman eksistensial yang menyentuh seluruh dimensi kehidupan: kesehatan publik, ekonomi rakyat, keamanan pangan, hingga identitas budaya lokal.
Gelombang Desa: Sungai Sambas Menjerit
Senin lalu, 12 desa di Kecamatan Sejangkung melangkah ke Polda Kalbar. Mereka tidak membawa kepentingan politik, tetapi jeritan Sungai Sambas yang tercemar akibat penambangan emas tanpa izin (PETI) di hulu.
Air sungai yang dulu jernih kini keruh, mengandung ancaman merkuri dan zat zat lain nya yang membayangi ribuan jiwa. Para kepala desa menegaskan: sungai tidak bisa bicara, karena itu mereka hadir sebagai lidah sungai.
Aktivis Kalbar Andri menolak keras wacana legalisasi tambang rakyat. Menurutnya, langkah itu hanya akan menormalisasi pencemaran dan membuka jalan bagi cukong untuk bersembunyi di balik bendera koperasi.
“Pidato politis sangat mudah diucapkan, tapi melegalkan PETI dengan dalih rakyat hanyalah solusi instan. Kami butuh riset, bukan retorika. Kami butuh diagnosis interdisipliner, bukan politik dagang sapi. Rakyat Kalbar berhak atas ruang hidup layak, air bersih, dan lingkungan sehat untuk tumbuh di paru-paru dunia,” tegasnya.
Mahasiswa di DPRD: PETI Simbol Kegagalan Negara
Pada aksi 27 Agustus 2025 di depan DPRD Kalbar, mahasiswa menempatkan PETI sebagai salah satu tuntutan utama. Mereka menyebut PETI sebagai simbol kegagalan negara.
“Ketika sungai rusak, hutan terbakar, tanah adat terampas, dan cukong tambang tetap aman, itu bukan sekadar kelalaian hukum. Itu adalah bukti negara kehilangan moralnya,” ujar seorang orator aksi.
Mereka memperingatkan: jika negara terus tunduk pada kepentingan tambang, legitimasi kekuasaan akan runtuh bersama hancurnya lingkungan.
Investigasi Interdisipliner: Dimensi Krisis
Ekonomi: keuntungan sesaat tidak sebanding dengan kerugian ekologis jangka panjang.
Lingkungan: DAS rusak, sedimentasi meningkat, ekosistem air hancur.
Hukum: bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28H dan UU 32/2009 tentang hak atas lingkungan sehat.
Kesehatan: merkuri mengancam bayi lahir cacat, memicu penyakit saraf, bahkan kehilangan generasi sehat.
Sosial: konflik laten perebutan air dan pangan, rakyat kecil tercekik, elit menikmati oksigen keuntungan.
Indonesia: Pusat Kehidupan Dunia
Kalau Mekah adalah pusat ibadah umat,
maka Indonesia adalah pusat kehidupan bumi.
Dari khatulistiwa mengalir udara suci, air jernih, dan cahaya peradaban.
Hutan adalah paru-paru dunia,
laut adalah jantung samudra,
udara adalah napas semesta.
Namun hari ini amanah itu dikhianati. Hutan dibakar, sungai dicemari, udara dikotori. Padahal dari Indonesia lah dunia bernapas.
Tanpa Indonesia, bumi gelap. Dengan Indonesia, dunia bernapas.Jalan Keluar: Negara sebagai Subjek Hukum Ekologis
Aktivis dan mahasiswa mendesak pemerintah untuk:
1. Menghentikan wacana legalisasi PETI yang berpotensi menjadi tameng pencemar.
2. Melakukan kajian ulang interdisipliner dengan riset ilmiah, bukan kepentingan politik sesaat.
3. Menggelar uji publik terbuka atas setiap kebijakan pertambangan.
4. Menindak tegas cukong dan beking, bukan kriminalisasi penambang kecil.
5. Mengembangkan ekonomi hijau alternatif: agroforestry, ekowisata, perikanan berkelanjutan.
Hipoksia Global: Nafas Bumi yang Tersedak
Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia kini tercekik oleh api, gergaji, dan izin tambang yang dikeluarkan tanpa nurani.
Setiap hektar yang hilang adalah oksigen yang dirampas,
setiap batang yang tumbang adalah napas manusia yang terhitung mundur.
Investigasi ini menyingkap bagaimana keserakahan telah menjerumuskan peradaban ke ambang hipoksia global — kondisi di mana planet kehilangan oksigen, dan manusia kehilangan masa depan.
-- Ditulis Sergap Dirgantara7