SERGAP DIRGANTARA7// Mempawah, 24 Agustus 2025 — Sebuah tragedi kembali mencoreng wajah pembangunan nasional. Sebatang pohon palem tumbang di area proyek Jembatan Jalan Daeng Manambon, Mempawah, menewaskan N.L (67), warga setempat. Insiden ini tidak dapat dipandang sebagai musibah biasa, melainkan menyingkap kelalaian sistemik, lemahnya kompetensi kontraktor, serta tumpulnya pengawasan pemerintah dalam proyek publik yang sepenuhnya dibiayai oleh pajak rakyat.
Fakta Lapangan: Indikasi Kelalaian
Pantauan lapangan mengungkap adanya indikasi pelanggaran serius terhadap prinsip keselamatan kerja:
Zona proyek tidak steril, masyarakat bebas melintas tanpa pengamanan.
Alat berat tanpa kendali penuh, excavator menyenggol pohon rapuh hingga menimpa korban.
Penerangan minim, jalur nasional berubah menjadi lorong gelap setiap malam.
Audit keselamatan tidak dilakukan, padahal proyek berada di poros vital Kalimantan Barat.
“Pembangunan dengan uang negara seharusnya melindungi rakyat, bukan mengorbankan mereka. Pertanyaannya: di mana kompetensi kontraktor? Di mana pengawasan pemerintah?” tegas Andri, Aktivis Kalbar.
Menurutnya, tragedi ini adalah simbol nyata bahwa pembangunan tanpa memperhatikan keselamatan hanya meninggalkan risiko dan korban. “Hukum tertinggi bukan beton, melainkan keselamatan manusia,” ujarnya.
Padahal regulasi nasional sudah jelas mengatur standar keselamatan proyek, namun praktik di lapangan menunjukkan Indikasi pengabaian serius:
UU No. 1/1970 tentang Keselamatan Kerja.
UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
UU No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi.
Permen PUPR No. 10/2021 tentang Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi.
SNI 7391:2008 tentang Penerangan Jalan.
Pengabaian aturan ini bukan hanya masalah teknis, melainkan mencerminkan krisis tata kelola hukum dan akuntabilitas negara.
Selain jatuhnya korban jiwa, masyarakat juga mengeluhkan kondisi jembatan alternatif yang digunakan selama pembangunan dari Sui Duri – Mempawah – Pontianak:
Penerangan minim, rambu keselamatan terbatas, dan marka jalan samar.
Kemacetan tahunan terus berulang akibat ketiadaan Andalalin (Analisis Dampak Lalu Lintas).
Kelayakan konstruksi jembatan sementara dipertanyakan.
“Setiap malam jalur nasional ini berubah menjadi lorong bahaya. Lampu jalan tidak berfungsi, marka samar, dan rambu keselamatan minim. Kami merasa proyek ini seharusnya memberi solusi, tapi justru menambah risiko,” keluh seorang warga.
Aktivis Kalbar menyampaikan saran berbasis hukum dan teknis agar tragedi serupa tidak berulang:
. Audit independen keselamatan proyek nasional sejak tahap awal, dengan hasil dipublikasikan untuk pengawasan publik.
. Evaluasi menyeluruh terhadap kompetensi kontraktor, konsultan, dan pejabat terkait, bukan sekadar sanksi administratif.
. Integrasi Andalalin, penerangan, dan rambu keselamatan sebagai syarat wajib pembangunan jembatan di jalur nasional.
. Kompensasi penuh bagi keluarga korban, disertai reformasi sistem pengawasan K3.
Tragedi ini menunjukkan adanya indikasi pelanggaran lintas sektor:
Keselamatan Kerja (K3) → UU No. 1/1970 tidak dijalankan.
Transportasi & Jalan → UU No. 22/2009 diabaikan.
Konstruksi Nasional → UU No. 2/2017 dan Permen PUPR No. 10/2021 tidak dipatuhi.
Teknis-SNI → standar penerangan jalan tidak dipenuhi.
Lingkungan → vegetasi rapuh dibiarkan tanpa mitigasi.
Sosial-Ekonomi → masyarakat dipaksa menggunakan jalur alternatif berisiko.
Potret ini menunjukkan kelalaian sistemik yang melibatkan kontraktor, pengawas, hingga pemerintah sebagai pemilik proyek.
“Negara boleh membangun jembatan dari baja dan beton, tetapi tanpa jembatan keselamatan, rakyat hanya akan terus menjadi korban. Hukum tertinggi dalam pembangunan bukan target proyek, melainkan keselamatan manusia,” pungkas Andri.
Tragedi Mempawah adalah alarm keras: pembangunan infrastruktur nasional akan kehilangan legitimasi jika standar hukum, teknis, sosial, dan etika keselamatan terus diabaikan.
Laporan : Andri