ads top menu

 


Ucapan “ Wartawan Bodrex” Gubernur Kalbar Jadi Bumerang Politik di Panggung HUT IJTI

By_Admin
Minggu, Agustus 10, 2025
Last Updated 2025-08-10T13:51:35Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates



Sergap7// Pontianak, Kalimantan Barat — 10 Agustus 2025 Perayaan HUT ke-6 Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kalimantan Barat yang berlangsung di sebuah ballroom hotel di Pontianak pada Jumat (8/8/2025) malam, berubah dari forum apresiasi menjadi panggung kontroversi.


Gubernur Kalbar Drs. H. Ria Norsan, M.M., M.H., dalam pidatonya yang semestinya menjadi ajang penguatan kemitraan pemerintah–media, melontarkan istilah yang memicu riak politik:


  “Media televisi masih menjadi tumpuan utama masyarakat di tengah banjir informasi di media sosial. Tapi ada juga media online yang berganti nama atau akun, tetap orangnya itu-itu saja. Ini yang saya sebut wartawan bodrex. Rawan sekali disalahgunakan.”


Ucapan itu, yang disampaikan tanpa data atau contoh konkret, sontak mengundang interpretasi beragam. Sebagian menganggapnya sebagai kritik terhadap oknum media abal-abal, sementara yang lain melihatnya sebagai stigma yang menggeneralisasi profesi wartawan.


Blunder Komunikasi Politik di Forum Kehormatan Pers


Forum HUT IJTI adalah panggung kehormatan insan pers. Melontarkan istilah peyoratif di ruang seperti ini berpotensi:


1. Mengaburkan pesan utama tentang pemberantasan media abal-abal.

2. Menggeser narasi dari apresiasi menjadi arena defensif citra pemerintah.

3. Membuka ruang resistensi dari kelompok media yang merasa diserang.


Kritik yang Melukai Sekutu

Kritik kepada oknum seharusnya presisi dan berbasis bukti. Mengeneralisasi profesi atas perilaku segelintir individu ibarat “mencabut seluruh gigi hanya karena satu gigi sakit.”

Dalam politik, kata yang keluar dari pejabat adalah milik publik—bebas ditafsirkan, dipelintir, bahkan digunakan untuk serangan balik.


Implikasi Hukum dan Politik

Meski tanpa menyebut nama, ucapan yang menstigma kolektif tetap berpotensi memunculkan pengaduan hukum:


•Pasal 310–311 KUHP: Pencemaran nama baik dan fitnah.

•Pasal 27 ayat (3) UU ITE: Penghinaan melalui media elektronik.

Secara politik, ucapan ini memberi tiga risiko besar:


1. Erosi Citra – Pemerintah dianggap anti-kritik.

2. Senjata Lawan – Narasi ini bisa dipakai dalam pertarungan politik.

3. Distraksi Isu – Fokus pada pemberantasan media abal-abal hilang, diganti isu kebebasan pers.


Pemimpin Semestinya Merangkul, Bukan Memukul


Dalam era keterbukaan informasi, inovasi kepemimpinan justru diukur dari kemampuan membangun sinergi dengan semua kanal komunikasi—termasuk media yang kritis.


Pemimpin yang visioner akan:

Membuka akses informasi sebagai hak publik, bukan menutupinya dengan retorika defensif.


Memperkuat literasi media agar masyarakat bisa memilah berita berkualitas.


Menggunakan kritik sebagai alarm dini untuk perbaikan kebijakan, bukan sebagai musuh yang harus dibungkam.


Ucapan “wartawan bodrex” di forum resmi bukan hanya keliru secara komunikasi, tapi kontraproduktif terhadap misi pelayanan publik. Pelayanan dan transparansi adalah instrumen kekuasaan yang jauh lebih kuat daripada serangan verbal.


kacamata analisis , ucapan “wartawan bodrex” ini adalah kecelakaan komunikasi politik yang bisa menjadi bahan bakar oposisi. Dalam politik, setiap kata adalah investasi citra—dan dalam kasus ini, kata yang dipilih justru menjadi aset lawan. Pemerintah kehilangan momentum membangun narasi kemitraan, dan malah membuka ruang bagi framing negatif yang sulit dikendalikan.


Sementara, dengan nada kritik, insiden ini menggambarkan watak kepemimpinan yang reaktif dan kurang empati terhadap peran kontrol sosial media. Pemimpin yang memukul dengan lisan di hadapan publik sejatinya sedang memukul kepercayaan warganya sendiri. Di tengah krisis kepercayaan, rakyat butuh pelayanan yang berinovasi dan transparansi yang menguatkan, bukan sindiran yang mengikis legitimasi.


Intinya: di zaman keterbukaan, bahasa pemimpin adalah kebijakan itu sendiri. Mengendalikan kata sama pentingnya dengan mengendalikan roda pemerintahan. Sebab, sekali kalimat salah terucap, ia bisa menjadi “bumerang politik” yang menghantam lebih keras daripada kritik lawan.


Satu kalimat yang salah tempat bisa membatalkan seribu langkah strategis. Di panggung publik, pemimpin yang gagal mengendalikan lisannya akan dikendalikan oleh dampak ucapannya.


Di tengah persaingan narasi politik menuju periode 2024–2029, yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang merangkul, menginovasi pelayanan, dan menjadikan keterbukaan informasi sebagai fondasi, bukan pemimpin yang memukul dengan kata-kata.


SERGAP Dirgantara7 Andri

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

ads bottom hb.segerah