Pontianak | SERGAP Dirgantara7 – 30 September 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjejakkan langkahnya di Kalimantan Barat dalam penyidikan dugaan skandal rasuah proyek jalan di Kabupaten Mempawah. Pertanyaan publik pun menguat: apakah akan muncul tersangka baru, atau kasus ini sekadar berakhir sebagai formalitas hukum tanpa arah yang jelas?
Ujian Kompetensi atau Formalitas?
Kehadiran KPK kali ini dipandang sebagai ujian: apakah lembaga anti-rasuah benar-benar menunjukkan disiplin hukum, atau sekadar merespons tekanan opini publik.
Aktivis Kalbar, Andri Mayudi, menegaskan pentingnya transparansi:
“Kita ingin skandal ini dibuka seterang-terangnya. Publik berharap KPK bekerja adil, bukan hanya demi efek kejut, tetapi agar kasus ini bermanfaat bagi masyarakat luas. Apalagi dalam iklim demokrasi yang dinamis, otonomi hukum negeri kita sedang diuji: apakah benar tegak lurus, atau mudah ditundukkan kepentingan politik?”
Namun Andri juga mengingatkan bahaya delay of justice: penundaan keadilan yang berlarut-larut berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Hak Jawab RN dan Asas Praduga Tak Bersalah
Pernyataan RN yang menegaskan dirinya masih berstatus saksi dinilai wajar sebagai hak jawab pejabat publik.
Andri menilai sikap RN proporsional:
“Pernyataan RN adalah bentuk tanggung jawab moral sekaligus politik untuk menenangkan publik. Ia menunjukkan keberanian hadir di hadapan rakyat dengan sikap terbuka. Justru ini kekuatannya: saksi harus diperlakukan sebagai bagian dari proses pencarian kebenaran, bukan seolah sudah divonis bersalah. Publik patut menghargai sikap RN yang tetap menegakkan haknya untuk menjawab dan membela diri dengan elegan di ruang terbuka.”
Dengan demikian, publik diingatkan kembali pada asas praduga tak bersalah, sembari menuntut KPK menuntaskan penyidikan secara objektif.
Stabilitas Pemerintahan Jadi Taruhan
Isu lain yang mengemuka adalah dampak delay of justice terhadap roda pemerintahan. Kasus hukum tanpa kejelasan berpotensi menimbulkan stagnasi kebijakan dan melemahkan kinerja pemerintah daerah.
Masyarakat Kalbar menuntut kepastian agar pemerintahan tetap berjalan efektif. Infrastruktur dan proyek jalan bukan sekadar agenda lokal, melainkan amanah pembangunan nasional. Karena itu, publik berharap penegakan hukum berjalan seimbang: transparan dalam penyidikan, tanpa melumpuhkan fungsi pemerintahan.
Kasus jalan Mempawah kini menjadi simbol tarik-menarik antara kekuatan politik dan kejujuran hukum. Publik menanti jawaban akhir: apakah KPK benar-benar akan menuntaskan perkara ini, atau justru membiarkan masyarakat kembali menonton drama delay of justice ?
“Kita saksikan nanti, dalam otonomi hukum negeri ini, siapa yang lebih hebat—kekuatan politik atau kejujuran hukum. Yang jelas, masyarakat Kalbar butuh kepastian yang terang, adil, dan bermanfaat.”
Turunnya KPK kembali ke Kalimantan Barat bukan sekadar peristiwa hukum, melainkan alarm keras bagi seluruh kepala daerah. Pesannya tegas: delay of justice tidak pernah berarti impunitas. Skandal lama pun tetap bisa dibuka kembali, karena setiap rupiah keuangan negara adalah amanah konstitusi yang tak mengenal kadaluarsa moral.
Aktivis Kalbar, Andri Mayudi, menegaskan bahwa ini adalah peringatan sekaligus yuridis:
“Kepala daerah di Kalbar maupun seluruh Indonesia harus berhati-hati dalam mengelola keuangan negara. Otonomi daerah bukan lisensi untuk menyalahgunakan anggaran, melainkan ujian akuntabilitas. Bila tata kelola tidak dijalankan dengan disiplin hukum, cepat atau lambat, KPK akan kembali mengetuk pintu.”
SERGAP Dirgantara7-
Disclaimer:
Berita ini disusun sebagai laporan investigatif dan opini publik. Semua pihak yang disebut masih berada dalam koridor asas praduga tak bersalah hingga ada keputusan hukum yang berkekuatan tetap.