Sergap7// Sambas, 1 September 2025 —Terik matahari siang tak mampu membungkam gelombang perlawanan. massa aksi—gabungan mahasiswa, pemuda, dan masyarakat sipil—bergerak dari Gedung Safar Taman Lunggi menuju DPRD Kabupaten Sambas. Mereka datang bukan untuk basa-basi, melainkan untuk memaksa wakil rakyat duduk sejajar, mendengar, dan menjawab.
Kursi Empuk Runtuh, Legitimasi Dipulangkan ke Jalan
Pukul 15.00 WIB, ribuan massa mengepung pintu DPRD. Teriakan “Keluar, duduk bersama kami di jalan!” menggema hingga 35 anggota DPRD keluar dan duduk bersila di aspal panas. Hanya 10 anggota yang tak hadir. Momentum itu menjungkirbalikkan hierarki: kursi empuk runtuh, legitimasi dipindahkan ke jalan.
Sidang Rakyat Menggugat Kekuasaan
Tak berhenti di situ, 11 OPD hadir, termasuk Kepala BKPSDM, Kepala Badan Keuangan Daerah, hingga Kepala Dinas PUPR. Satu per satu dipaksa menjawab desakan rakyat di hadapan publik. Wakil Ketua DPRD pun duduk tanpa podium, menyimbolkan runtuhnya jarak kekuasaan. Apa yang biasanya berputar dalam ruang rapat ber-AC kini menjadi sidang rakyat terbuka di bawah langit Sambas.
Sembilan Luka, Sembilan Tuntutan
Pukul 16.30 WIB, sembilan tuntutan rakyat dibacakan lantang, merekam luka sosial-politik yang lama dibiarkan:
1. Menolak kenaikan tunjangan DPR.
2. Mengecam aparat kepolisian atas tindakan brutal dan represif.
3. Mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset.
4. Mendesak pemerataan infrastruktur di Kabupaten Sambas.
5. Menuntut kesejahteraan honorer dan guru.
6. Mendesak penyelesaian kasus KPAD.
7. Mendesak penindakan PETI yang meresahkan masyarakat.
8. Menuntut penyelesaian PBB di Sambas.
9. Evaluasi menyeluruh Pokir DPRD yang menyerap 28 persen APBD.
Setiap butir dijawab, disepakati, dan ditandatangani di jalan. Sebuah dokumen lahir bukan dari meja elit, melainkan dari aspal panas yang dipijak rakyat.
Demokrasi Jalanan: Propaganda Tandingan
Menjelang pukul 17.00 WIB, massa bubar dengan tertib tanpa bentrokan. Aksi tepat waktu dan bubar damai membuktikan warga Sambas sudah berpikir sehat dan jernih. Itulah bukti bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sambas tinggi di Kalbar, sekaligus menandakan daerah ini punya potensi berkah dan berkemajuan.
Di tengah ekonomi yang sulit dan politik yang tak pasti, rakyat menolak terpancing provokasi sesaat. Justru dalam kebeningan pikiran, massa aksi menunjukkan bahwa menunda reaksi bukan tanda pasif, melainkan cara menjaga akal sehat agar tidak hanyut dalam teater politik.
Refleksi Historis: Krisis 2025 Sebagai Ujian Bangsa
Di balik riuh demonstrasi, pertanyaan mendasar menggantung: siapa yang menjaga legitimasi, siapa yang menguasai narasi? Sejarah membuktikan, demokrasi bertahan bila rakyat teguh pada solidaritas moral, namun runtuh bila kekuasaan menutup ruang partisipasi.
Krisis 2025 bukan sekadar gejolak, melainkan ujian historis: apakah Indonesia kembali pada janji keadilan dan persatuan, atau tersesat dalam bayang-bayang kekuasaan yang abai pada konstitusi.
Pesan Sambas jelas: diam bukan berarti setuju. Demokrasi sejati lahir bukan dari podium elit, melainkan dari aspal panas tempat rakyat dan dewan sama-sama duduk.
Sergap Dirgantara7-Andri