Sergap// | 19 Oktober 2025Di jalan menuju Pasar Sungai Duri, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, merupakan jalur vital sambas -singkawang- sei duri -mempawah -pontianak ,aktivitas warga setiap hari bergantung pada satu jalur utama yang melintasi sebuah jembatan lama.
Kini, jembatan tersebut retak, menurun di bagian oprit, dan nyaris tak mampu menahan beban lalu lintas yang terus meningkat.
Kendaraan berat masih melintas, sementara pengendara motor berusaha menjaga keseimbangan di atas permukaan jalan yang mulai bergelombang.
Bagi warga sekitar, ini bukan sekadar kerusakan teknis, tetapi ancaman nyata bagi keselamatan.
“Sudah pernah ada mobil yang hilang kendali dan menabrak rumah warga — bahkan sudah dua kali rumah yang sama. Untung tak ada korban jiwa, tapi dinding semen rumah rusak parah. Pernah juga mobil sampai menembus kamar,” kata salah satu warga setempat.
Tim sergap7 melakukan investigasi lapangan pada 19 Oktober 2025 dan menemukan tanda-tanda awal pekerjaan di sekitar lokasi.
Tampak alat berat dan sejumlah pekerja membuka jalur baru di sisi kiri jalan.
Namun, setelah dikonfirmasi, kegiatan tersebut ternyata bukan perbaikan jembatan utama, melainkan pembuatan jalur alternatif sementara.
“Untuk pembangunan jembatan barunya masih menunggu keputusan anggaran. Belum tahu pasti, bisa tahun 2025 ini atau baru 2026,” ujar salah satu pekerja di lokasi.
Keterangan ini menunjukkan bahwa meski risiko kecelakaan meningkat, keputusan anggaran dan birokrasi masih menjadi alasan keterlambatan tindakan di lapangan.
Ruas jalan ini merupakan jalan provinsi yang berfungsi sebagai penghubung penting antarwilayah perdagangan di Kalimantan Barat bagian utara.
Secara administratif, tanggung jawab pemeliharaan berada pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Kalimantan Barat, melalui Bidang Bina Marga.
Namun, koordinasi antarlembaga tampak belum berjalan efektif.
Pemerintah Kabupaten Bengkayang menyebut tidak memiliki kewenangan langsung, sementara pihak provinsi masih menunggu keputusan anggaran tahunan
.
Akibatnya, jembatan tetap terbengkalai, dan masyarakat harus melintasi jalur berisiko tinggi setiap hari.
Para pemerhati kebijakan publik menilai hal ini sebagai contoh klasik keterlambatan respons birokrasi, di mana keputusan administratif sering kali lebih lambat dari kebutuhan masyarakat.
“Infrastruktur publik seharusnya bergerak dengan prinsip tanggap darurat, bukan menunggu anggaran turun. Jika kerusakan sudah mengancam keselamatan, tindakan cepat adalah bentuk tanggung jawab negara,” ujar seorang pengamat kebijakan infrastruktur di kalbar.
Selain kerusakan struktural, area sekitar jembatan minim rambu peringatan dan penerangan malam
.
Padahal, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014 mewajibkan pemasangan tanda bahaya setidaknya 100 meter sebelum jembatan rusak, terutama di jalur lalu lintas padat.
Kurangnya peringatan membuat pengendara tidak memiliki cukup waktu untuk mengantisipasi kondisi jalan yang sempit dan menurun, meningkatkan risiko kecelakaan.
Kasus jembatan Sungai Duri mencerminkan tantangan klasik dalam tata kelola infrastruktur daerah: koordinasi yang lambat, ketidakpastian fiskal, dan lemahnya sistem tanggap cepat.
Pemerintah kerap terjebak dalam proses administratif yang panjang, sementara di lapangan, warga menghadapi risiko setiap hari.
“Kami hanya berharap jembatan ini segera diperbaiki. Setiap malam kami khawatir ada kendaraan tergelincir atau jatuh ke sungai,” tutur seorang pedagang yang setiap hari melintas menuju pasar.
Kerusakan jembatan Sungai Duri bukan hanya masalah teknis, melainkan cermin bagaimana kebijakan publik bekerja — atau gagal bekerja — di tingkat daerah.
Negara seharusnya hadir lebih cepat, bukan setelah masyarakat kehilangan rasa aman di jalan yang mereka lalui setiap hari.
“Tanggung jawab pemerintah bukan sekadar membangun, tetapi memastikan setiap jembatan tetap aman untuk dilintasi,” kata seorang warga yang ditemui di lokasi.
SERGAP Dirgantara7