SERGAP 7 – Sambas, Kalimantan Barat | 20 Oktober 2025Transformasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang digadang-gadang sebagai tonggak pemerataan ekonomi rakyat dinilai belum menyentuh hal paling mendasar: kesiapan sumber daya manusia.
Aktivis lingkungan dan sosial Kalimantan Barat, Andri Mayudi, menilai arah kebijakan WPR masih terjebak pada aspek administratif — izin, dokumen, dan peta wilayah — tanpa strategi membangun kompetensi masyarakat sebagai pengelola utama tambang rakyat.
“Negara jangan hanya menyiapkan dokumen, tapi juga manusia yang paham bumi.
Legalitas tanpa legitimasi ekologis hanyalah administrasi kehancuran,”
ujar Andri dalam Forum Dialog Penataan WPR Kabupaten Sambas, Senin (14/10).
Menurut Andri, WPR bukan semata proyek legalisasi tambang rakyat untuk mengejar PAD (Pendapatan Asli Daerah), tetapi ujian moral bagaimana negara mengelola kekayaan bumi sesuai amanat konstitusi.
Ia mengingatkan, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun dalam praktik, rakyat sering hanya menjadi objek kebijakan tanpa bimbingan teknis atau pengetahuan yang memadai.
“Rakyat tambang disebut dalam dokumen, tapi tak pernah diberi ilmu.
Negara hadir lewat izin, tapi absen dalam pembimbingan,” tegasnya.
Andri menekankan bahwa keberhasilan WPR akan ditentukan oleh kualitas SDM dan kesadaran ekologis masyarakat.
Ia mendorong pemerintah menyiapkan program pelatihan tambang rakyat di tiap kabupaten penghasil tambang, disertai laboratorium uji kadar mineral dan pendidikan lingkungan berbasis desa.
“Kalau rakyat tidak tahu kadar dan mutu hasil tambangnya, mereka akan terus menjual murah.
Yang kaya tetap penampung, yang rusak tetap alam,” ujarnya.
Bagi Andri, SDM unggul bukan hanya pekerja tambang terampil, tapi warga yang memahami kadar, nilai ekonomi, dan dampak lingkungan dari setiap bijih yang diambil.
Dalam forum tersebut, Andri melontarkan sejumlah pertanyaan tajam yang menyentuh akar persoalan kebijakan:
Apakah usulan WPR sudah sinkron dengan RTRW dan KLHS?
Apakah percepatan legalisasi WPR dilakukan demi PAD atau demi perlindungan ekologi rakyat?
Bagaimana pelarangan merkuri akan dijalankan di lapangan?
Apakah hasil pajak dan retribusi WPR akan transparan untuk rehabilitasi lingkungan?
Siapa yang menjamin agar izin WPR tidak jatuh ke tangan koperasi boneka atau pemodal besar?
Pertanyaan itu disambut hening sesaat — tanda bahwa isu tambang rakyat bukan hanya teknis, tapi ujian integritas kebijakan publik.
Andri menutup pandangan dengan pesan sederhana namun menggugah: rakyat harus paham apa yang mereka miliki.
Ia mencontohkan, tukang perhiasan bisa sejahtera bukan karena punya tambang, tapi karena tahu cara mengolah hasilnya.
“Ilmu mengubah batu jadi nilai,
dan kesadaran mengubah tambang jadi peradaban,” ujarnya.
Transformasi WPR, lanjutnya, harus menjadi momentum memperkuat kedaulatan rakyat atas sumber daya alam — bukan sekadar menertibkan izin, tapi menumbuhkan kecerdasan ekologis dan kemandirian ekonomi.
“Negara kuat bukan karena izinnya banyak,
tapi karena rakyatnya hidup dalam lingkungan yang adil dan berkelanjutan,” pungkasnya.
SERGAP Dirgantara7



















