Sergap7//Sambas, 24 September 2025 – Sorotan Publik / EditorialGelombang Protes yang Tak Pernah Padam Sepanjang tahun 2025, Kabupaten Sambas nyaris tak pernah sepi dari demonstrasi. Dari Februari hingga September, jalan raya berkali-kali dipenuhi suara rakyat yang menuntut keadilan pembangunan dan transparansi anggaran.
Februari, warga mendesak percepatan pembukaan Jembatan Sungai Sambas Besar (JSSB) dan perbaikan infrastruktur.
1 Mei, aksi peringatan Hari Buruh berlangsung damai dan menghasilkan tiga kesepakatan penting, termasuk rencana penyusunan Perda Perlindungan Tenaga Kerja.
1 September, ratusan massa dalam Aliansi Sambas Bergerak melontarkan sembilan tuntutan, menyoroti kesejahteraan guru honorer dan transparansi APBD.
23 gelombang besar kembali memenuhi halaman Kantor Bupati dan Gedung DPRD. Aliansi Rakyat Bersuara membawa sepuluh tuntutan, termasuk transparansi hibah dan penjelasan utang Pemda Dalam forum dialog terbuka, aspirasi rakyat diperdengarkan langsung kepada Bupati Satono, Wakil Bupati Heroaldi Djuhardi Alwi , Ketua DPRD, Sekda, dan jajaran OPD.
Aksi tak hanya menyasar pusat pemerintahan kabupaten, tapi juga merembet ke Inspektorat Sambas.
25 Maret, warga Desa Tambatan, Kecamatan Teluk Keramat, melaporkan pembangunan Balai Desa.11 April, warga Desa Pusaka, Kecamatan Tebas, mendesak pemberhentian Kades dan Sekdes akibat persoalan moral.14 Mei, puluhan warga Desa Kubangga, Kecamatan Teluk Keramat, menuntut transparansi Dana Desa dan BUMDes.19 Mei, ratusan warga Desa Pelimpaan, Kecamatan Jawai, mendatangi Inspektorat dengan spanduk berisi mosi tidak percaya terhadap perangkat desa.
Fenomena ini menegaskan kian meluasnya krisis kepercayaan publik, bahkan di tingkat pemerintahan paling bawah.
Energi Demokrasi atau Krisis Institusi?Gelombang aksi ini memperlihatkan dua wajah. Di satu sisi, partisipasi publik tumbuh: rakyat berani mengawasi pemerintah, menuntut transparansi, bahkan mempermasalahkan moralitas pejabat desa. Namun di sisi lain, kondisi ini menunjukkan rapuhnya saluran formal. Musrenbang, RPJMD, reses DPRD, dan forum audiensi birokrasi dianggap tidak efektif.
Ketika forum resmi mandek, jalan raya berubah menjadi “parlemen darurat.” Aspirasi rakyat kini diekspresikan lewat spanduk, orasi, dan mobilisasi massa, bukan lagi melalui ruang sidang.
Aktivis sipil Kalimantan Barat menilai situasi ini sebagai sinyal alarm demokrasi lokal.
“Demo itu hak rakyat. Tapi kalau hampir tiap bulan massa turun ke jalan, artinya DPRD dan musrenbang gagal berfungsi. Pemerintah hanya bergerak ketika ditekan, bukan ketika dipercaya,” ujar seorang aktivis Kalbar.
Mereka juga menyoroti beban fiskal dari gelombang aksi.
> “APBD sudah defisit, tapi biaya pengamanan aksi terus membengkak. Itu shadow budget—belanja bayangan yang tidak tercatat resmi tapi nyata menggerus keuangan daerah,” tambah aktivis lainnya.
Bagi aktivis, Sambas kini menghadapi logika berbahaya: “yang demo, dia dapat; yang diam, dia ditinggal.” Jika tidak ada koreksi sistemik, rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan pada institusi, dan jalan raya akan menjadi arena politik permanen.
Demokrasi memang memiliki biaya, tetapi akan menjadi terlalu mahal jika uang rakyat habis untuk mengelola demonstrasi berulang. Dialog jauh lebih murah daripada pengamanan.
DPRD harus kembali ke fungsi utamanya sebagai penyalur aspirasi, bukan sekadar penerima massa demo. Inspektorat harus berani bertindak tanpa menunggu desakan publik. Pemerintah desa harus hadir sebagai jembatan edukasi dan transparansi.
Jika langkah-langkah ini tidak segera ditempuh, jalan raya akan tetap menjadi parlemen terakhir rakyat—aspal sebagai meja sidang, spanduk sebagai naskah undang-undang, dan orasi sebagai suara oposisi.
“Ketika setiap aspirasi hanya didengar lewat demo, Sambas jatuh dalam demokrasi jalanan—mahal, melelahkan, dan rawan ditunggangi politik.”
SERGAP Dirgantara7
Tajam dalam Analisa, Jernih dalam Narasi