Sergap7// Kalbar – 13 September 2025 | Hujan deras dengan intensitas tinggi selama lebih dari delapan jam berturut-turut memicu banjir besar di berbagai wilayah Kalimantan Barat. Dari Sungai Pinyuh, Peniraman, Jawai, hingga Kota Singkawang dan Sambas, air meluap merendam jalan raya, sawah, kantor pemerintahan, bahkan merobohkan jembatan desa.
Jalan Raya Tergenang
Akses utama Sungai Pinyuh–Peniraman menuju Pontianak lumpuh akibat genangan. Kendaraan kesulitan melintas, sebagian mogok di jalan. Warga memperingatkan pengendara agar meningkatkan kewaspadaan.
Petani Jawai Merugi
Sekitar 15 hektare sawah di Kecamatan Jawai terendam banjir. Padi yang siap dipanen rusak total, menimbulkan kerugian ekonomi yang ditaksir mencapai ratusan juta rupiah.
Kantor Pemerintahan Kebanjiran
Halaman Kantor Wali Kota Singkawang ikut terendam, menghambat sejumlah agenda resmi pemerintahan sekaligus menegaskan buruknya sistem drainase perkotaan.
Jembatan Desa Ambruk
Di Desa Tebas Sungai, Kabupaten Sambas, jembatan sepanjang 60 meter yang menghubungkan dua dusun ambruk setelah dihantam arus deras disertai tumpukan sampah hanyut. Putusnya jembatan ini memutus akses vital warga desa.
Investigasi: Daya Dukung Lingkungan Runtuh
Banjir beruntun ini mengungkap rapuhnya daya tahan ekologis Kalbar. Hujan beberapa jam saja sudah cukup untuk melumpuhkan aktivitas masyarakat, melumpuhkan infrastruktur, dan merugikan sektor pangan.
Aktivis lingkungan menilai fenomena ini bukan sekadar bencana musiman. “Ini adalah bukti krisis ekologis. Tata ruang kota gagal, infrastruktur rapuh, dan negara tidak serius menjaga daerah resapan,” tegas salah satu pegiat lingkungan Kalbar.
Kalbar, Paru-Paru Bumi yang Melemah
Kalimantan Barat dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia dengan hutan tropis, lahan gambut, dan daerah aliran sungai (DAS) yang berfungsi sebagai penyangga air. Namun, ekspansi sawit, deforestasi, dan alih fungsi lahan membuat benteng ekologis itu kian rapuh. Akibatnya, hujan dengan intensitas sedang pun berpotensi memicu banjir besar.
Banjir Kalbar 13 September 2025 menjadi alarm keras. Hujan singkat kini cukup untuk melumpuhkan pangan, transportasi, pemerintahan, dan infrastruktur. Ini bukan lagi sekadar bencana musiman, melainkan refleksi krisis ekologis yang sistemik.
Jika pemerintah tidak segera bertindak dengan riset mendalam, keberanian politik, dan keberpihakan pada rakyat, maka Kalimantan Barat—yang dikenal sebagai paru-paru dunia—akan terus kehilangan peran ekologisnya dan tenggelam dalam siklus bencana.
Kesimpulan Tajam
Banjir besar yang melanda Kalimantan Barat menegaskan krisis ekologis yang kian akut. Deforestasi, kerusakan gambut, drainase kota yang buruk, tata ruang abai risiko, serta infrastruktur rapuh menjadi faktor utama yang membuat hujan singkat berubah menjadi bencana.
Fenomena ini bukan sekadar cuaca ekstrem, melainkan cermin kegagalan tata kelola lingkungan. Negara gagal menjalankan mandat perlindungan ekologis, sementara rakyat kecil kembali menanggung kerugian paling besar.
Tanpa audit ekologis menyeluruh, moratorium izin di kawasan resapan, restorasi hutan dan gambut, serta reformasi tata ruang berbasis mitigasi iklim, Kalbar akan terus terjebak dalam siklus bencana. Alarm sudah berbunyi: paru-paru dunia di Borneo Barat tengah sekarat, dan waktu untuk bertindak kian menipis.
SERGAP Dirgantara7



















