Sergap Dirgantara7//Pontianak – 5 September 2025, Di atas kertas, hukum tampak ditegakkan: surat keputusan ditandatangani, sanksi dijatuhkan dengan bahasa administratif. Namun di balik formalitas itu, publik menilai birokrasi justru menampakkan wajah telanjang—bersyariat hukum tetapi kehilangan adab demokrasi. Netralitas ASN yang seharusnya menjadi pagar demokrasi kini diperlakukan layaknya komoditas: dapat ditawar, dilunakkan, bahkan dinegosiasikan.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) melalui surat resmi Nomor 6678/B-AK.02.02/SD/F/2025 menyebut adanya “pelanggaran serius dalam tubuh birokrasi” di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Dua pejabat tinggi, R.H. (Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) dan A.S. (Kepala Biro Hukum Setda), dijatuhi sanksi atas dugaan keterlibatan dalam politik praktis menjelang Pilgub Kalbar 2024.
Keputusan tersebut diumumkan Sekda Harisson pada Rabu (4/9). R.H. awalnya dijatuhi hukuman pembebasan jabatan selama 12 bulan, namun setelah mengajukan keberatan, Gubernur meringankan hukumannya menjadi penurunan jabatan setingkat lebih rendah. Sementara itu, keberatan yang diajukan A.S. ditolak, sehingga ia tetap menjalani penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan.
Netralitas ASN bukan hanya norma etika, melainkan mandat hukum. UU No. 5/2014 tentang ASN dan PP No. 94/2021 tentang Disiplin PNS dengan tegas menggolongkan keterlibatan ASN dalam politik praktis sebagai pelanggaran berat yang dapat berujung pada pemberhentian.
Namun kenyataannya berbeda. Fakta bahwa sanksi terhadap R.H. dapat dilunakkan memperkuat persepsi publik bahwa hukum dijalankan setengah hati dan seolah-olah masih dapat dinegosiasikan.
> “ASN digaji rakyat, bukan kandidat. Bila birokrasi berubah menjadi mesin politik, maka demokrasi kehilangan tiang penyangganya,” ujar seorang aktivis di Kalbar.
Perbedaan perlakuan antara R.H. dan A.S. memunculkan tanda tanya: apakah bobot pelanggaran keduanya memang berbeda, atau publik menilai ada faktor kedekatan politik yang ikut memengaruhi keputusan Gubernur?
Jika pelanggaran serius dapat dilunakkan melalui mekanisme keberatan, publik beranggapan hukum birokrasi kehilangan wibawa. Alih-alih berdiri sebagai instrumen kepastian, ia justru berubah menjadi alat kompromi kekuasaan.
Preseden Sistemik
Bagi birokrasi: dianggap membuka ruang bagi ASN lain untuk ikut berpolitik tanpa takut sanksi tegas.
Bagi Pilgub 2024: rawan merusak prinsip fairness kontestasi karena birokrasi dinilai bisa dijadikan mesin elektoral.
Bagi negara: seolah-olah memperlihatkan kegagalan sebagai subjek hukum dalam menegakkan asas kepastian dan kesetaraan.
Publik berharap KASN segera melakukan investigasi independen yang imparsial, Bawaslu Kalbar menilai dampak pelanggaran terhadap keadilan Pilgub, serta Pemprov membuka data penanganan kasus secara transparan agar akuntabilitas terjaga. Di sisi lain, ASN Kalbar harus diperkuat integritas dan etikanya, sehingga birokrasi kembali steril dari politik praktis dan mampu menjalankan mandat konstitusi sebagai pelayan publik yang profesional, kompeten, dan inovatif.
Krisis Etika Birokrasi
“Ketika BKN menyebut adanya pelanggaran serius dalam tubuh birokrasi, itu bukan sekadar catatan administratif, melainkan alarm demokrasi. Namun keputusan Gubernur yang meringankan sanksi memperlihatkan bahwa hukum dianggap bisa ditawar. Jika pelanggaran yang sudah dikategorikan serius saja dapat dilunakkan, maka negara gagal menegakkan dirinya sebagai subjek hukum; etika birokrasi dikorbankan, dan demokrasi lokal direduksi menjadi transaksi kekuasaan.”
Publik menilai kasus ini menggambarkan birokrasi yang seolah-olah inkompeten dan kehilangan etika. Dua pejabat tinggi yang seharusnya menjadi teladan justru terjebak dalam politik praktis, lalu berlindung di balik prosedur keberatan untuk menawar hukuman.
Netralitas bukan lagi prinsip, melainkan dianggap alat tawar kekuasaan. Birokrasi tampil seperti tubuh tanpa tulang: rapuh, mudah dilipat, dan kehilangan marwah sebagai penjaga kepentingan rakyat.
“Netralitas ASN di Kalbar kini hanya bersyariat hukum, tetapi kehilangan adab demokrasi,” ucap seorang pengamat politik lokal. Aturan ditegakkan di atas kertas, sanksi dijatuhkan dengan bahasa hukum, namun substansinya dianggap mengkhianati rasa keadilan publik. ASN yang mestinya netral malah berpolitik, lalu berlindung pada prosedur formal.
Ketika Biro Hukum—penjaga akal negara—dan Kadisdikbud—penjaga jiwa bangsa—terseret politik praktis, publik menilai birokrasi tampil hanya bersyariat hukum tetapi kehilangan adab demokrasi. Aturan ditegakkan di atas kertas, sanksi dijatuhkan dengan bahasa legal, namun substansinya dianggap mencederai rasa keadilan publik.
Legacy apa yang mereka tinggalkan? Bukan teladan, melainkan catatan sejarah tentang pejabat yang publik anggap mengkhianati amanah. Kepatuhan berubah menjadi formalitas kosong, hukum bergeser menjadi instrumen kuasa, dan integritas terkubur di bawah kepentingan elektoral.
Padahal, hakikat ASN adalah pelayan publik—profesional, kompeten, inovatif, dan steril dari politik. ASN seharusnya hadir untuk memperkuat pelayanan, melahirkan kebijakan yang berkeadilan, serta membangun kepercayaan rakyat.
Ki Hajar Dewantara mengajarkan: “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Filosofi itu menempatkan pejabat sebagai teladan moral, penggerak semangat, dan penuntun rakyat. Namun kasus ini justru menghadirkan ironi: anak-anak didik melihat pejabatnya berpolitik, sementara hukum yang seharusnya menjadi pagar justru roboh karena ditawar.
Laporan : Andri



















