ads top menu

 


Danantara, Empat Kota, dan Ilusi Investasi Jumbo: Ketika Perpres Dilangkahi, Risiko Dibalut Narasi Hijau*

Redaksiâ„¢
November 22, 2025
Last Updated 2025-11-22T14:43:09Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates



Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)


Ada satu pola lama yang kini muncul dalam wajah baru, yakni proyek diumumkan dulu, aturan menyusul belakangan. Dan kali ini, pola itu muncul lewat Danantara, itu holding investasi negara yang masih berusia muda, tapi sudah berlari lebih cepat daripada regulasinya sendiri.


Ketika media mengumumkan empat kota yang akan “mendapat investasi jumbo PLTSa”, publik dibuat percaya bahwa semuanya sudah matang. Seolah Perda sudah beres. Seolah lahan sudah bersih. Seolah investor sudah siap kucurkan dana. Seolah negara tinggal menunggu pemotongan pita.


Padahal, ketika kita buka Perpres 109/2025, gambarnya sangat berbeda.


*Syarat wajib yang tidak dipenuhi, tapi investasi sudah diumumkan*


Dalam Perpres 109/2025, dua syarat hukumnya sangat tegas:

1. Perda retribusi sampah harus ada sebelum MoU, tender, atau pengumuman proyek Ini bukan formalitas birokrasi. Ini sumber pendapatan proyek WtE. Tanpa Perda, cash flow WtE sama dengan nol. Tanpa cash flow, proyek berarti gagal.


Pertanyaan IAW, apakah empat kota itu punya Perda retribusi sampah? Tidak ada publikasi. Tidak ada dokumen. Tidak ada penjelasan Danantara. Jadi bagaimana mereka berani mengumumkan investasi jumbo?


2. Lahan WtE wajib ‘clean and clear’, tanpa sengketa, tanpa tumpang tindih, tanpa konflik adat, tanpa pinjam pakai. Realita di lapangan:

- 99% TPA di Indonesia tak bersertifikat.

- Banyak yang berdiri di kawasan hutan.

- Banyak yang bersengketa dengan masyarakat.

- Banyak yang tumpang tindih HGB/HPL.

Pertanyaan IAW, bagaimana tiba-tiba empat kota itu clean dan clear? Tidak ada data. Tidak ada rilis. Tidak ada due diligence yang diumumkan.


Namun proyek sudah “dipilih”, “diluncurkan”, “dipromosikan”.


Ini bukan sekadar prematur. Ini berpotensi melanggar Perpres, melanggar UU Keuangan Negara, bahkan masuk wilayah Penyalahgunaan Kewenangan (pasal 3 Tipikor) bila dipaksakan.


*Narasi investor "masuk" tapi realisasi  tidak pernah terbukti*


Ini bagian paling halus tapi paling berbahaya dari seluruh skema. Setiap panggung publik Danantara diisi kalimat: “minat investor luar biasa.”; “banyak dana global antre.” dan “Indonesia jadi magnet investasi hijau.”


Pertanyaan IAW, berapa investor yang sudah tanda tangan binding agreement? Berapa dana yang sudah masuk rekening escrow? Berapa transaksi yang sudah tercatat dalam laporan audited?


Jawabannya, tidak ada angka. Tidak ada daftar. Tidak ada bukti. Yang ada hanyalah retorika.


Dan narasi inilah yang digunakan untuk menjustifikasi bahwa empat kota “layak” diumumkan, padahal syarat hukumnya belum dipenuhi satu pun.


Dalam audit negara, klaim investasi tanpa realisasi bukan prestasi. Itu alarm risiko.


*Ketika aturan dilangkahi, risiko fiskal dipentaskan*


WtE tanpa Perda retribusi sama dengan proyek tanpa pemasukan. WtE tanpa lahan clean dan clear adalah proyek tanpa fondasi hukum.


Maka IAW menghitung skemanya begini: tanpa Perda, maka tidak ada revenue, sehingga defisit operasi, lalu siapa yang bayar?


1. APBD? Tidak boleh. Karena itu melanggar UU Keuangan Daerah.

2. PLN? Tidak sanggup membeli listrik mahal WtE.

3. Danantara? Tidak punya kapasitas menutup defisit 33 proyek WtE sekaligus.

4. APBN? *Inilah ujungnya: risiko bailout fiskal terselubung.*


Maka proyek “hijau” berubah menjadi: “skema hijau di atas kertas, namun merah di laporan fiskal.”


Dan itu bertentangan total dengan mandat Presiden Prabowo: “semua proyek strategis harus menguntungkan negara.”


*Konflik kepentingan yang selama ini tidak dijawab*


Kita sudah membahasnya di analisis sebelumnya:

1. TOBA mengakuisisi Sembcorp Environment Rp 4,77 triliun. Eks pejabat TOBA kini menjadi CIO Danantara.

2. OASA terafiliasi Kopkar PLN.

3. BIPI punya akses logistik dan migas.

4. HGII dan MHKI masuk sebagai pemodal lokal.


Pertanyaan IAW: mengapa Danantara terkesan lebih sibuk mendorong sektor WtE, ini sektor yang diincar emiten-emiten itu, daripada membangun sektor rendah risiko yang bisa langsung menghasilkan keuntungan negara?


Kenapa bukan: air minum; pangan; cold storage; logistik; rumah sakit; SDM; digitalisasi aset negara dan energi rendah biaya? Sektor yang menguntungkan negara, bukan yang justru berisiko menunggangi APBN?


Jawaban Danantara? Tidak pernah diberikan!


*KAP dipanggil, BPK diduplikasi, fungsi diawasi*


Danantara memanggil 17 KAP terbesar untuk “mengingatkan auditor jangan merekayasa laporan keuangan.” Ini tindakan tidak lazim:

- SWF global tidak memanggil auditor.

- Pengawasan KAP dilakukan OJK, bukan Danantara.

- Audit kinerja BUMN dilakukan BPK, bukan Danantara


Pertanyaan IAW: mengapa lembaga pengelola investasi negara bertindak seperti regulator profesi? Ini adalah sinyal governance yang sangat serius.


*Posisi IAW*


Jika empat kota dipaksakan, kami bersama publik akan tempuh jalur hukum. IAW akan:

1. Somasi Pemda empat kota.

2. Somasi Danantara.

3. Laporkan ke Presiden Prabowo.

4. Desak audit prospektif BPK.

5. Laporkan ke Kejagung dan KPK jika ada indikasi penyalahgunaan kewenangan


Karena: Perda adalah syarat legal. Lahan clear=syarat hukum. Due diligence adalah wajib. Transparansi sama dengan mandat UU.


Jika dilanggar, ini masuk wilayah maladministrasi dan risiko tipikor.


*Rekomendasi untuk Presiden Prabowo*


1. Memerintahkan Danantara buka data publik atas:

- Perda 4 kota.

- Sertifikat tanah.

- Nama investor.

- Status komitmen dana.

- Risiko fiskal.

- Potensi konflik kepentingan.

2. Bekukan sementara proyek WtE sampai syarat hukum benar-benar dipenuhi.

3. Meminta BPK melakukan audit kinerja prospektif terhadap seluruh model bisnis Danantara.


Kalau tidak, ini bisa menjadi skandal fiskal 2025–2029.


*Penutup*


Empat pertanyaan yang harus dijawab Danantara, sebelum bicara triliunan:

1. Perda retribusi ada atau tidak?

2. Lahan TPA clean dan clear atau tidak?

3. Investor real ada atau tidak?

4. Risiko fiskal sudah dihitung atau tidak?


Jika semua jawabannya: “tidak.”, maka “Investasi jumbo itu hanyalah ilusi jumbo. Danantara sedang membungkus risiko merah dengan plastik hijau.”


Dan IAW akan memastikan bahwa “WtE yang benar bukan dimulai dari konferensi pers, tapi dari Perda yang sah dan lahan yang bersih.”

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

ads bottom hb.segerah