Doc.Ilustrasi
Sergapdirgantara7 | Pontianak, 12 November 2025 —Ketika pusat berbicara tentang efisiensi anggaran, daerah berbicara tentang kehidupan manusia.
Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) untuk Kalimantan Barat sebesar Rp522 miliar pada tahun 2026 mungkin tampak seperti langkah teknis biasa. Namun bagi pemerintah daerah, kebijakan itu menyentuh hal yang lebih mendasar: keberlanjutan pelayanan publik dan martabat rakyat.
Pernyataan seorang anggota DPR RI yang menilai pemangkasan dana transfer bukan masalah karena masih ada program pusat seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), Dana Sekolah Rakyat, dan Dana Desa, mendapat tanggapan tegas dari Andri, Ketua DPC LSM GRAK Sambas sekaligus pengamat kebijakan publik.
Menurut Andri, pandangan tersebut menunjukkan cara berpikir yang terlalu administratif dan jauh dari realitas hidup rakyat di daerah.
“Skema dan program bisa dibuat sebanyak apa pun, tapi kalau sekolah kekurangan guru, puskesmas tutup lebih awal, dan jalan desa rusak tanpa perbaikan, rakyat tetap kehilangan haknya,” ujarnya di Pontianak, Rabu (12/11).
Andri menilai, persoalan dana daerah bukan sekadar soal efisiensi, melainkan soal fungsi uang negara sebagai alat pemerataan dan keadilan sosial.
Ia menegaskan, kebijakan pusat seharusnya tidak berhenti pada jalur administrasi, tetapi menjawab pertanyaan sederhana: apakah rakyat benar-benar merasakan manfaatnya?
“Negara boleh bicara efisiensi, tapi rakyat bicara keberlangsungan hidup.
Keadilan tidak bisa dihitung dengan tabel, tapi dirasakan di meja makan, di ruang kelas, dan di jalan yang dilalui anak sekolah,” tegas Andri.
Ia menambahkan, fungsi utama pemerintah daerah adalah menjaga keseimbangan antara kebijakan nasional dan kebutuhan lokal.
“Ketika dana daerah dipangkas, keseimbangan itu terganggu.
Daerah kehilangan daya untuk menolong rakyatnya sendiri,” ujarnya.
Menanggapi pandangan salah satu anggota DPR RI perwakilan Kalbar yang menyebut program pusat cukup menutup kebutuhan daerah, Andri menilai hal itu keliru secara konsep maupun realitas.
“Program seperti MBG dan Dana Sekolah Rakyat memang memiliki tujuan baik, tetapi sifatnya tambahan, bukan pengganti.
Program pusat itu ibarat vitamin tambahan, sementara dana daerah adalah sumber energi utama.
Kalau energi utama dikurangi, rakyat tidak akan kenyang hanya dengan vitamin,” jelasnya.
Andri menegaskan, pemerintah daerah adalah garda terdepan kehidupan rakyat.
Ketika dana dikurangi, pelayanan publik otomatis melemah—dan yang menanggung akibatnya bukan pejabat, melainkan rakyat kecil.
Menurutnya, kebijakan publik yang efektif tidak hanya datang dari atas, tetapi juga dari pengetahuan daerah terhadap persoalan warganya.
“Jakarta mungkin tahu angka, tapi daerah tahu wajah penderitaan di lapangan,” katanya.
Ia menggambarkan bagaimana masyarakat kecil menjadi pihak yang paling terdampak bila dana daerah menyusut.
“Bayangkan seorang guru honorer di pedalaman yang sudah tiga bulan menunggu upahnya, atau bidan di desa yang bertugas tanpa biaya operasional.
Mereka tidak menuntut lebih, hanya ingin haknya ditepati,” ujarnya lirih
Andri menegaskan, rakyat kecil tidak butuh penjelasan panjang soal skema—mereka butuh kepastian pelayanan.
“Negara harus hadir bukan di laporan, tapi di kehidupan nyata,” ujarnya.
Menurutnya, setiap kebijakan penggunaan uang negara harus kembali pada esensi: untuk siapa dan demi apa kebijakan itu dibuat.
“Kalau keputusan justru membuat rakyat makin sulit, berarti ada yang salah arah.
Tujuan negara bukan menghemat, tapi memastikan tidak ada warga yang tertinggal,” katanya.
Andri menilai, pandangan DPR yang menganggap pemangkasan dana tidak berpengaruh justru bertentangan dengan semangat konstitusi.
“Pasal 34 UUD 1945 jelas menyebut negara wajib memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Bagaimana kewajiban itu terpenuhi kalau dana daerah yang menopang layanan dasar justru dipangkas?” tanyanya retoris.
“Negara yang kuat bukan karena bisa menekan anggaran, tapi karena bisa menjaga martabat warganya.
Kalau daerah dibiarkan lemah, maka keadilan sosial hanya akan menjadi kalimat indah di atas kertas.”
Kami berharap pemerintah pusat dan DPR lebih mendengar suara dari bawah, bukan hanya menghitung angka.
“Beri ruang bagi daerah untuk bernapas dan bertindak, karena di sanalah keadilan sosial benar-benar diuji,” pungkasnya.
Penulis: Tim Redaksi SERGAP Dirgantara7



















