PONTIANAK, 15 Desember 2025 – Aktivis lingkungan Kalimantan Barat, Andri, mendesak Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalbar membuka data ilmiah dan peta spasial secara transparan menyusul pernyataan pemerintah daerah bahwa penurunan kualitas kawasan hutan di Kalbar “tidak setinggi narasi di media sosial”. Menurut Andri, ukuran keberhasilan negara dalam isu ekologis bukan adu statistik, melainkan pencegahan, pemulihan, dan penegakan hukum lingkungan yang berbasis bukti serta dapat diuji publik.
“Jika pemerintah menyatakan kondisi tidak separah itu, publik berhak melihat peta, metodologi penetapan, dan rencana pemulihan yang terukur. Penindakan hukum lingkungan juga harus terlihat, bukan berhenti pada rilis angka,” kata Andri, Senin (15/12).
Pemerintah Klaim Data Lahan Kritis dan Persentase “Rendah”
DLHK Kalbar menyebut luas kawasan hutan provinsi ini sekitar 8,2 juta hektare. Mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 406 Tahun 2025 tentang penetapan lahan kritis nasional, DLHK menyampaikan lahan kritis di Kalbar mencapai 708.399 hektare, terdiri dari 418.903 hektare di dalam kawasan hutan dan 289.496 hektare di luar kawasan hutan. Angka tersebut disebut sekitar 8,64 persen bila dibandingkan dengan luas kawasan hutan.
DLHK juga menegaskan lahan kritis tetap harus ditangani serius dengan pembedaan penanganan antara wilayah dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, serta menyebut data tersedia hingga tingkat koordinat.
Kritik Metodologis: Pembanding Wajib Sepadan
Andri menilai penyajian angka berisiko menimbulkan bias interpretasi bila kategori tidak dipisahkan secara sepadan. Ia menekankan, total lahan kritis (dalam + luar kawasan) tidak semestinya dibandingkan langsung hanya dengan luas kawasan hutan.
“Analisis harus dipisah dengan pembanding setara: lahan kritis di dalam kawasan hutan dibanding luas kawasan hutan, sedangkan lahan kritis di luar kawasan hutan dibanding luas APL (Areal Penggunaan Lain). Tanpa pemisahan itu, angka bisa terlihat kecil, padahal risiko ekologis belum tentu kecil,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perbedaan indikator antara lahan kritis (status degradasi pada saat penetapan) dan kehilangan tutupan pohon yang umumnya bersifat akumulatif lintas tahun berbasis penginderaan jauh (remote sensing). Menurutnya, perbedaan indikator tidak boleh dijadikan alasan saling meniadakan, tetapi harus disinkronkan menjadi kebijakan berbasis risiko: prioritas lokasi, target pemulihan, serta pengendalian penyebab degradasi.
“Kalau DLHK menyebut punya data sampai koordinat, mekanisme verifikasi publiknya harus jelas. Buka peta, jelaskan parameter, lalu tunjukkan tindakan pemulihan dan penindakan,” kata Andri.
Kampus Diminta Uji Ilmiah Terbuka: Audit Metode, Audit Spasial, Ground Check
Untuk memperkuat akuntabilitas, Andri mendorong kampus dan akademisi di Kalbar melakukan uji ilmiah independen terhadap klaim pemerintah melalui tiga lapis verifikasi: audit metodologi, audit spasial, dan uji lapangan (ground check) pada titik-titik prioritas.
“Kampus harus bersuara. Fakultas kehutanan, lingkungan, geografi, teknik, kesehatan masyarakat, ekonomi sumber daya, dan hukum bisa menyusun kajian terbuka: uji metode, uji peta, uji konsistensi kebijakan, serta dampaknya pada banjir, kualitas air, kualitas udara, dan emisi,” ujarnya.
Andri menilai isu ini bersifat interdisipliner: menyangkut kesehatan publik, mitigasi bencana, ketahanan air, hingga kredibilitas target pengurangan emisi. “Hutan bukan panggung debat angka, tapi sistem penyangga hidup,” katanya.
“Negara Hadir Setelah Bencana, Bukan Mencegahnya”
Andri menilai pola kebijakan yang reaktif membuat masyarakat selalu menjadi pihak yang menanggung dampak terbesar saat bencana berulang terjadi.
“Ini mengingatkan kita bahwa negara tidak hadir. Negara mungkin hadir setelah bencana, tetapi tidak hadir untuk mencegahnya,” kata Andri.
Ia menambahkan, kerugian warga pascabanjir, longsor, dan kekeringan kerap tidak sebanding dengan bantuan yang datang belakangan. Dalam pandangannya, bencana tidak bisa terus diposisikan sebagai “takdir alam” tanpa menilai faktor kebijakan.
“Alam yang dirawat tidak menyiapkan bencana; bencana adalah tagihan atas pengabaian. Yang disebut ‘musibah’ sering kali bukan datang dari langit, tapi dari kebijakan dan keserakahan yang meniadakan daya dukung. Alam tidak akan memberikan musibah jika dirawat oleh tangan-tangan baik,” tegasnya.
Lima Tuntutan: Transparansi hingga Penegakan Hukum
Andri mendesak DLHK Kalbar membuka lima hal agar dapat diuji publik dan menjadi dasar tindakan:
1. Peta spasial lahan kritis beserta metadata (skala, tahun rujukan, metode penetapan).
2. Definisi operasional lahan kritis dan parameter ilmiahnya.
3. Analisis terpisah (dalam kawasan vs luar kawasan) dengan pembanding sepadan.
4. Rencana pemulihan terukur: lokasi prioritas, target tahunan, indikator keberhasilan, anggaran, dan penanggung jawab.
5. Penegakan hukum lingkungan pada titik degradasi: kepatuhan perizinan, sanksi administratif, dan tindak lanjut korektif yang dapat dilacak publik.
Peringatan Politik: “Tanpa Keberanian, Kerusakan Tak Akan Terurai”
Ia menutup pernyataannya dengan penekanan bahwa transparansi data dan uji ilmiah tidak akan berdampak tanpa keputusan politik yang tegas untuk membongkar akar masalah.
“Tanpa keberanian politik, kerusakan yang telah lama terjadi tidak akan pernah bisa diurai,” ujarnya.
Andri juga melontarkan peringatan tentang daya dukung lingkungan yang kian menipis.
“Kerusakan yang dibuat manusia itu tidak bisa dipulihkan lagi oleh alam,” katanya, seraya menilai bencana berulang merupakan sinyal bahwa alam telah mencapai batas toleransinya terhadap praktik pembangunan yang merusak.
Tim-SERGAP Dirgantara7


















