![]() |
Pontianak, SERGAP Dirgantara7 – Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GRAK) Kabupaten Sambas mengecam ketegangan terbuka antara Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Barat yang mencuat sejak awal Desember 2025. Polemik tersebut dinilai bukan lagi sekadar dinamika internal, melainkan berpotensi mengguncang wibawa negara, memecah birokrasi, dan menghambat pencapaian target pembangunan jangka menengah daerah.
Polemik mencuat ke ruang publik setelah Wakil Gubernur Kalbar menyampaikan kekecewaan karena tidak dilibatkan secara memadai dalam proses seleksi dan pelantikan puluhan pejabat eselon II. Dalam sejumlah pemberitaan, ia merasa seperti “tidak dianggap” dan hanya diminta hadir pada momen foto bersama, tanpa pernah secara serius dilibatkan dalam pembahasan anggaran maupun program strategis pemerintahan.
Di sisi lain, sebelumnya Gubernur Kalbar menegaskan bahwa komunikasi dengan wakilnya tetap terjalin melalui berbagai forum internal, termasuk pertemuan rutin, sehingga kesan disharmoni dinilai berlebihan. Namun fakta bahwa pernyataan-pernyataan tersebut muncul bergantian di ruang publik memicu pertanyaan serius mengenai soliditas kepemimpinan di tingkat provinsi.
Dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Ketua LSM GRAK Kabupaten Sambas, Andri Mayudi, menilai konflik tersebut telah melampaui ranah personal dua figur dan menyentuh inti rasionalitas negara sebagai institusi.
“Rakyat membayar negara untuk bekerja, bukan menonton drama elit. Gubernur dan Wakil Gubernur adalah dua wajah dari satu legitimasi hasil Pilgub, bukan dua ego yang saling berebut panggung,” tegas Andri.
Ia mengingatkan, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur bukan sekadar posisi politik, tetapi amanah yang dibayar oleh pajak rakyat. Seluruh gaji, fasilitas, dan kehormatan jabatan pejabat publik, kata Andri, bersumber dari APBD dan APBN yang berasal dari kontribusi warga.
“Ketika pertikaian elit justru mendominasi pemberitaan, sementara persoalan infrastruktur, layanan dasar, dan pengelolaan anggaran belum tuntas, kepercayaan publik perlahan terkikis. Negara adalah rumah bersama; para pemimpin hanya pengelola sementara. Jika mereka sibuk bertengkar di depan penghuni sementara pekerjaan rumah terbengkalai, wajar bila warga ragu apakah rumah ini masih diurus dengan akal sehat,” ujarnya.
Dari perspektif tata kelola, GRAK memperingatkan bahaya polarisasi birokrasi dan masyarakat jika konflik elit dibiarkan berlarut tanpa mekanisme penyelesaian yang jelas. Andri menilai, ketegangan di puncak kekuasaan dapat menetes ke bawah, memecah organisasi perangkat daerah dan aparatur sipil negara ke dalam kubu-kubuan yang saling berhadapan.
“Konflik elit yang dibiarkan mengalir ke bawah adalah bentuk kelalaian terhadap demokrasi dan tata kelola. OPD dan ASN berpotensi terbelah, netralitas aparatur terganggu, dan polarisasi masyarakat semakin dalam. Ini bukan lagi sekadar soal gaya komunikasi, tetapi menyentuh langsung stabilitas institusi,” lanjutnya.
Andri menegaskan, kepercayaan publik merupakan modal utama demokrasi. Ia mengingatkan, konflik yang berlarut berpotensi memperlambat realisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalbar 2025–2029, di mana porsi anggaran infrastruktur mencapai sekitar Rp15 triliun. Pada saat yang sama, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar masih berada di bawah rata-rata nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, IPM Kalbar berada di kisaran 72,5, sedangkan rata-rata nasional sekitar 74,4.
“Kepercayaan kepada negara tidak dibangun dengan foto bersama atau konferensi pers sesaat, tetapi dengan konsistensi perilaku institusi. Kalau yang dilihat masyarakat adalah pucuk kekuasaan saling mengirim pesan melalui media, sementara kinerja di lapangan berjalan setengah hati, kepercayaan itu akan terkikis perlahan namun pasti,” katanya.
LSM GRAK menegaskan bahwa kritik yang disampaikan merupakan bagian dari kontrol sosial yang dijamin konstitusi. Andri menyatakan, lembaganya tidak berpihak pada figur tertentu, tetapi pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab kekuasaan di hadapan rakyat.
“Kami berpihak pada prinsip, bukan pada figur. Demokrasi menempatkan pejabat publik sebagai penyelenggara mandat rakyat, bukan pemilik mandat. Perbedaan pandangan boleh terjadi, tetapi tidak boleh mengganggu fungsi negara sebagai institusi yang rasional dan dapat dipercaya. Jika konflik pribadi sudah menghambat ritme pemerintahan, itu tanda bahwa amanah mulai diabaikan,” tegasnya.
Andri mendesak agar perbedaan antara Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar segera diselesaikan melalui mekanisme internal yang tertib, berbasis hukum, dan mengedepankan kepentingan publik. Ia menilai, semakin lama konflik dibiarkan di ruang terbuka tanpa penyelesaian, semakin besar biaya sosial, birokratis, dan politik yang harus ditanggung masyarakat.
“Kalbar membutuhkan pemerintahan yang stabil, bukan babak baru drama elit. Biaya konflik selalu dibayar rakyat, baik dalam bentuk layanan publik yang tertunda, kebijakan yang tertarik-ulur, maupun hilangnya kepercayaan kepada negara. Tanggung jawab menjaga kewarasan demokrasi ada di tangan mereka yang memegang mandat,” pungkasnya.
TIM – SERGAP Dirgantara7


















