Sergap7//Jumat 5 september 2025, London – Suatu ketika, di sebuah kamar kos sederhana di Bandung, seorang mahasiswa menulis skripsi tentang kecerdasan buatan. Tidak ada yang spektakuler: meja kecil, cahaya lampu seadanya, dan mimpi yang belum punya wujud. Dua dekade kemudian, nama mahasiswa itu—Adhiguna Kuncoro—bergema di jantung riset AI dunia. Ia kini tercatat sebagai peneliti asal Indonesia di DeepMind Google London, laboratorium yang melahirkan Gemini, model kecerdasan buatan tercanggih yang sedang mengubah arah sejarah teknologi global.
Perjalanannya membuktikan satu hal: jalan pikiran yang diasah dapat menembus batas ruang dan bangsa.
Dari Kos Bandung ke DeepMind London
Kisah Adhiguna adalah cermin tentang betapa tekun berpikir mampu menggeser takdir. Dari ITB, ia melanjutkan studi ke dua universitas paling bergengsi dunia: University of Oxford dan Carnegie Mellon University (CMU). Di sana, ia mendalami Natural Language Processing (NLP), sebuah bidang riset yang menggabungkan linguistik, logika, dan mesin.
Pada tahun 2017, DeepMind merekrutnya sebagai Research Scientist. Di London, risetnya berkembang menjadi fondasi Gemini—AI yang tidak hanya menjawab perintah, tetapi berusaha memahami bahasa manusia dalam kompleksitasnya.
Di mata dunia, itu adalah capaian ilmiah. Tetapi bagi Indonesia, ini seharusnya menjadi alarm: talenta kita bisa mengubah dunia, tetapi apakah negeri ini siap memberi ruang?
Fakta yang Bicara
2017: Adhiguna bergabung dengan DeepMind.
Fokus riset: NLP, deep learning, struktur bahasa.
Kontribusi: Dataset open-source bahasa Indonesia, AI Summer School Jakarta 2019, serta publikasi akademik internasional.
Dampak: AI yang bisa membantu guru di daerah terpencil, mendukung tenaga medis di wilayah 3T, hingga memperluas literasi digital masyarakat.
Data ini sederhana, tetapi sarat makna: ilmuwan diaspora kita bukan hanya simbol keberhasilan individu. Mereka adalah aktor strategis dalam percaturan teknologi global.
Di negeri ini, pemerintah begitu sibuk meresmikan jalan tol, jembatan, dan pelabuhan. Infrastruktur fisik dianggap lambang kemajuan. Semua penting, semua nyata. Tetapi ada satu hal yang kerap terabaikan: jalan pikiran.
Jalan tol menghubungkan kota dengan kota, tetapi jalan pikiran menghubungkan bangsa dengan masa depan. Beton bisa dihitung panjangnya dalam kilometer, tetapi pikiran hanya bisa diukur oleh ketajaman nalar.
Ironinya, generasi kita lebih suka kagum pada aplikasi ketimbang memahami logikanya. Negara pun lebih rajin menghitung ton aspal ketimbang menajamkan daya kritis warganya.
Seorang anak kos dari Bandung telah menunjukkan bahwa jalan pikiran mampu menembus jantung AI dunia. Pertanyaan yang harus dijawab: apakah bangsa ini rela terus membiarkan anak-anak terbaiknya membangun peradaban orang lain, sementara di dalam negeri kita larut dalam euforia seremoni dan pesta beton?
Generasi muda hari ini kerap terjebak dalam budaya instan: viral lebih penting daripada valid, populer lebih cepat dipuja ketimbang pengetahuan yang matang. Di titik ini, akal menjadi tumpul. Dan jika tumpul dibiarkan, ia berubah menjadi kebodohan sistemik.
Padahal, akal tumpul bisa diasah. Lewat buku, debat, riset, dan keberanian menguji diri. Yang tidak bisa diselamatkan hanyalah akal yang sejak awal menolak berpikir.
Karena itulah, membangun manusia unggul tidak cukup dengan menambah bandwidth internet atau meluncurkan aplikasi baru. Ia membutuhkan budaya intelektual yang memuliakan nalar.
Untuk generasi muda: jangan puas jadi konsumen tren global. Jadilah produsen ide. AI bukan sekadar alat untuk bermain-main, tetapi bahasa masa depan yang harus dikuasai.
Untuk pemerintah: bangunlah laboratorium dengan keseriusan yang sama seperti membangun jalan tol. Anggarkan riset dengan keberanian yang sama seperti membangun tugu. Sebab beton bisa retak oleh hujan, tetapi pikiran tajam akan menembus abad.
Kisah Adhiguna Kuncoro adalah cermin sekaligus pertanyaan. Cermin karena menunjukkan bahwa Indonesia tidak kekurangan talenta. Pertanyaan karena mengingatkan: apakah bangsa ini punya visi?
Generasi unggul lahir ketika riset menjadi budaya, inovasi menjadi nafas, dan nalar menjadi kompas. Jika tidak, kita hanya akan jadi bangsa yang sibuk membangun jalan beton, sementara jalan pikiran dibiarkan runtuh.
SERGAP Dirgantara7 – Andri



















